Drowned and The Candy Addict
Permen rasanya manis, berwarna-warni, beraroma harum, berpenampilan cantik dan menarik. Hampir semua orang menyukai permen, terutama anak-anak.
Bagaimana dengan air? Kebutuhan primer seluruh makhluk hidup. Tidak ada air, tidak ada kehidupan, itulah faktanya.
Satu dicintai banyak orang, satu lagi dibutuhkan semua orang. Kalau dipikir-pikir, apa yang mungkin salah dari permen dan air? Kalian akan berpikir beberapa saat, tapi sebenarnya jawaban itu sudah ada di depan mata, yaitu seberapa banyak jumlahnya dalam tubuh kalian.
Mengonsumsi permen melampaui batas wajar bisa membunuh, begitupun mengonsumsi air di luar batas normal. Keduanya membunuh secara perlahan, menyiksa, dan menjijikkan.
Gula bisa membuat tubuhmu membusuk, mulai dari gigi, jari-jari, telinga, sampai akhirnya seluruh tubuh. Sementara tenggelam adalah cara mati paling menyakitkan bagi manusia, menghirup air alih-alih udara. Paru-paru akan membengkak, lambung akan pecah, dan tubuhmu akan membiru, membesar dua kali lipat seperti balon.
Baik permen maupun air, keduanya terdengar seperti mimpi indah yang menyenangkan, tapi juga mimpi buruk yang menakutkan.
Pertanyaannya ... mana yang lebih buruk?
***
Kedua jalan menuntun mereka menyusuri lorong panjang, lembab, dan gelap. Lorong Jason dihiasi lampu warna-warni berkelip yang beberapa bohlamnya pecah mengeluarkan percikan api. Sementara Chris harus rela melangkahi genangan air yang memenuhi lantai, mengabaikan satu-dua ekor kodok melompati kakinya. Begitu sampai tujuan, Jason dan Chris malah berhadapan di sisi lorong yang berbeda, tapi dalam ruangan sama.
"Apa-apaan!" erang Jason. "Jadi arah mana pun tujuannya sama saja! Sialan!"
Daripada menanggapi keluhan rekannya, Chris lebih tertarik menatap sekeliling. Ruangan persegi besar ini berdinding baja, tinggi lebih dari empat meter, sangat lengang dan dingin. Ruangan itu dipisahkan menjadi dua, seperti dua ekosistem dalam satu kotak.
Sisi kanan berbentuk penjara berlapis kawat berduri, di dalamnya ada penjara lain dengan jeruji lebih kecil. Barulah di lapisan terakhir, terdapat meja bundar, dihuni oleh gadis berkulit pucat dengan bercak keunguan pias di seluruh tubuhnya. Rambutnya keperakkan tidak teratur, dia duduk bersila di depan meja, menutup mata sambil tersenyum, bergoyang ke kanan dan kiri, seolah sangat bahagia dengan apa pun yang diimajinasikan kepalanya.
Sementara di sisi kiri ada akuarium raksasa berair hijau keruh. Hanya itu. Jason mendekati akuarium tersebut, mengetuk kacanya beberapa kali. Detik selanjutnya, sepasang mata merah menyala muncul berniat mengaggetkan, tapi gagal. Seringainya jahil dan kekanakkan. Bocah itu balas mengetuk kaca dengan telapak tangan berselaput, lantas menyeringai dengan mata menyipit girang. Makhluk itu pergi secepat kedatangannya.
"Kenapa kita selalu berurusan dengan segerombol bocah aneh." Sekali lagi Jason mengeluh.
Chris menoleh. "Kita? Maksudmu aku?"
Si pembuat mainan berdecih, mengalihkan perhatian pada jeruji di sisi kanan. Menggedornya beberapa kali sampai gadis yang tengah bersila membuka mata sangat lamban. Manik hijau terangnya perlahan melirik, lantas seringai lebar terukir di bibirnya.
"Jason ... lama tak jumpa." Gadis itu menyapa dengan nada menggoda.
"Hai, manis! Apa kabar badut kesayanganmu? Aku harap dia sudah mati."
"Kau harap ...." Gadis itu bersandar pada jeruji, seringainya meredup drastis berganti alis meruncing seolah siap menyerang. "Harapanmu sampah!"
Jason terkekeh. "Masih penggerutu seperti biasa, Martes?"
Seekor tikus got gemuk mengintip dari balik rambut perak gadis itu, matanya merah memelotot sampai terlihat menonjol. Sekonyong-konyong seekor anjing dan kucing ikut mendekati jeruji. Si anjing sibuk menggaruk kutu di lehernya, sementara kucing hitam bermata hijau menyala diam seperti patung.
"Jack bilang padaku kalau Tuan Besar bilang padanya, bahwa seseorang bernama Chris alias The Puppeteer akan mengajakmu untuk memintaku menjadi bagian dari kelompok penyelundup bersama dengan Ben, Silver, dan Red. Apakah itu benar?"
Jason melongo. "Aku sama sekali tidak menangkap perkataanmu barusan."
"Itu benar, Cynthia. Aku harap kau dan Ben sudah membiasakan diri, mengingat kalian akan menghabiskan banyak waktu bersama mulai sekarang." Sang pengendali mengambil alih. "Aku penasaran, apa yang membuat Tuan Besar menjadikan kalian teman sekamar."
"Kami punya banyak kesamaan ... benar kan, Benny?" Manik hijau Cynthia melirik akuarium, di sana Ben sedang menempelkan wajah pada kaca hingga hidungnya terlihat seperti babi. Mereka tertawa terbahak-bahak setelahnya, termasuk juga Jason.
"Hentikan itu!" bentak Chris, benar-benar jengkel. "Tentunya kalian tahu ada beberapa tes kelayakan sebelum benar-benar menjadi bagian dari tim."
"Kami tahu ... kami tahu ... kami membicarakannya setiap saat. Benar, Benny?" Sosok di akuarium mengangguk-angguk, mengeluarkan gelembung dari mulutnya. "Jack bilang kalian akan mengadu kekuatan kami, Jack bilang siapa pun yang menang tidak penting, karena kami pasti diterima dalam tim. Jack bilang kami dipilih Tuan Besar karena kami layak."
"Apa Jack pernah bilang padamu untuk tutup mulut? Karena itu saran yang bagus!" gertak Jason yang sontak membuat Cynthia mencebik.
"Tidak ada waktu lagi. Cepat keluar dari situ dan tunjukan kemampuan kalian."
Cynthia meregangkan tubuhnya, lantas berusaha menembus celah sempit pada jeruji. Tubuh gadis itu memang sangat kurus, tapi seharusnya tidak mungkin bisa melewati celah sekecil itu. Akan tetapi itulah yang ia lakukan, seolah tidak memiliki tulang.
Pertama ia mengeluarkan lengan dan bahunya, lalu kepala, lantas sisa tubuh yang lain. Dengan terlewatnya jeruji paling kecil, melewati kawat besi serta lapisan jeruji terakhir bukanlah hal rumit. Detik berikutnya gadis itu sudah berdiri di hadapan Chris dan Jason dengan seringai lebar.
"Ben tidak bisa keluar tanpa membuat kekacauan." Telunjuk kurus Cynthia mengarah kepada sekotak bom tempel di pojok ruangan.
Jason tiba-tiba bertepuk tangan. "Oh-ho-ho, biar aku saja yang melakukan ini!"
Pria itu nyaris berjingkrak ketika menghampiri kotak berisi bom tersebut, mengais lebih dalam supaya mendapatkan bom terbaik, padahal semuanya sama saja. Setelah menemukan yang paling pas, ia menempelkan bom itu pada kaca akuarium, lantas menjauh beberapa langkah.
Sementara Cynthia dan Chris berlari ke sisi ruangan lain untuk berlindung. Beberapa kali suara bip-bip-bip terdengar, lalu ledakan besar membuat kaca akuarium pecah menumpahkan berliter-liter air ke lorong kiri. Begitu air surut, tinggalah Ben menggelepar di lantai seperti ikan kehabisan napas.
"Tidak usah berlebihan!" Jason menendang anak itu, dan menariknya berdiri.
"Ayo kita lakukan lagi!" seru Ben. Di luar akuarium suaranya tinggi dan serak, seperti ada air bergejolak di tenggorokannya.
Ajakan itu tidak pernah mendapat jawaban karena Jason segera merangkul keempatnya dalam dua tangan, lantas mereka pergi diikuti asap tebal berwarna merah. Mereka muncul kembali dengan asap merah yang sama.
Kali ini di padang rumput luas yang gelap dan berkabut, ada rawa hijau tak jauh di depan, semak dan pohon tersusun compang-camping di sekeliling mereka. Kesunyian menguasai, bahkan tidak terdengar suara hewan-hewan malam.
Suara yang terdengar selanjutnya adalah batuk dibuat-buat dari Cynthia dan Ben. "Apa tidak ada cara berpergian yang minim polusi!" keluh Cynthia, yang segera disahut oleh Ben, "Sepertinya aku terkena penyakit paru-paru!"
"Kau bahkan tidak bernapas dengan paru-paru, Idiot!" bentak Jason dengan mata mendelik hijaunya.
Cynthia segera memekik kagum dengan pemandangan di hadapannya. Gadis itu berputar dan melompat riang bak seekor anjing. "Aku tidak pernah pergi ke tempat seluas ini. Tempat ini sangat menyenangkan!" Tiba-tiba anak itu berpikir serius. "Sebentar ... kalau diingat lagi aku pernah ke sini! INI TEMPAT YANG MEMBOSANKAN!"
Giliran Chris yang memijat pelipis. "Terkadang aku berharap Lucas bisa lebih aktif mengambil alih pikirannya ... BERKUMPUL KALIAN!"
Ekspresi kesal Cynthia berubah manis seketika, sementara Ben bangkit dari air setelah hanya ujung kepalanya yang terlihat. Kedua anak itu berdiri bersebelahan, terlihat seperti orang-orangan sawah yang bernyawa, dan sangat jelek.
"Tunjukkan kemampuan kalian."
Kedua anak itu bertukar pandang, lalu terkikik. "Tunjukkan kemampuan katanya," ejek Ben. "Memang dia pikir dia siapa?" sahut Cynthia. Suara terkekeh mereka menggema di rawa-rawa sunyi.
"Tuan Besar yang menyuruhku. Kalian tahu apa yang terjadi jika tidak menurut, 'kan?"
Lagi-lagi mereka saling pandang. Entah apa yang coba mereka katakan.
"Yah, kalau Tuan Besar yang bicara, apa boleh buat." Anak perempuan nyentrik itu menyeringai lebar.
"Asal Tuan senang ...." Ben ikut menyeringai hingga matanya menyipit.
Tanpa disuruh lagi, Ben memutar-mutar rantai panjang di pergelangan tangannya. Itu caranya memasang kuda-kuda. Sedangkan Cynthia, merogoh saku pada rok compang-campingnya, mengeluarkan palu besar bergagang ramping. Mustahil palu itu muat di dalam sana, tapi itulah yang terjadi.
"Pasti ajaran Jack," gerutu Jason. "Aku bisa mengajarinya trik yang lebih keren."
Ben dan Cynthia terkikik, saling pamer kemampuan bermain senjata, lantas maju untuk menyerang. Chris dan Jason memperhatikan dengan serius, mengharapkan sebuah pertarungan sengit antara dua junior yang digadang-gadang menjadi monster paling mematikan setelah Jeff dan Jack.
Namun, yang mereka saksikan hanyalah dua anak gila tengah asyik dengan dunia masing-masing. Serangan demi serangan dilontarkan tanpa menimbulkan dampak. Lebih parah lagi, tidak peduli siapa yang terkena pukulan, mereka akan tertawa.
"Sebenarnya apa yang sedang kita lakukan?" gumam Jason putus asa setelah tiga puluh menit berlalu tanpa perubahan.
Chris bangkit dari duduknya. Pria itu biasanya tekun dan sabar dalam urusan melatih para junior. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri ia juga sangat bosan, juga kesal. Apa lagi suara tawa dua anak itu hampir memunculkan kembali akal sehatnya yang sudah lama hilang. Tanpa basa-basi, Chris menjulurkan benar emas bersinar dari jari-jarinya. Membelit Cynthia dan Ben pada masing-masing tangan, lantas memaksa mereka berdiri di hadapannya.
"Hey, apa-apaan! Kami belum selesai!" geram Ben.
"Kami bahkan belum mulai!" Cynthia melanjutkan.
Chris menatap keduanya bergantian dengan ekspresi wajah yang pasti ditakuti oleh seluruh makhluk hidup di dunia, bahkan para penghuni mansion. Namun, saat Ben dan Cynthia malah terbahak-bahak mengejek betapa jeleknya dia, pria itu melemaskan otot-ototnya.
"Kalian mimpi terburuk."
"Kita semua mimpi terburuk."
Comments
Post a Comment