The Quadruplets


“Lost Silver, Glitchy Red, Cynthia the Candy Addict, Ben Drowned.”

Chris menatap jejeran makhluk di hadapannya, empat calon monster berdarah dingin yang kini lebih terlihat seperti penghuni tempat sampah. Di sisi paling kiri terlihat pemuda tanpa lengan mengenakan pakaian kasual serba keperakan, rambutnya hitam sepanjang tengkuk tertutup topi cap terbalik, serta poni nyaris menutupi mata. Kepalanya terus tertunduk menatap sayu ke tanah.

Di sebelahnya ada pemuda lain yang terlihat seperti kloning si perak, hanya saja berwarna merah. Dia jelas lebih tahu cara memakai topi daripada kembarannya meskipun terlihat lebih konyol. Tubuh pemuda itu beberapa kali pudar-timbul bak statik di video tape rusak.

Drowned? Memang tidak ada nama yang lebih kreatif!” Jason mendengkus di hadapan anak laki-laki berbaju serba hijau yang memakai topi runcing khas elf natal.

Anak itu balas memelotot memamerkan mata merah menyala, ia memiringkan kepala lalu berkata, “Aku memang pernah tengglam, dan aku suka tenggelam. Kau punya masalah dengan itu, Bro!”

Jason maju selangkah, lalu membungkuk penuh ancaman. “Tunggu sampai kujejalkan piranha ke dalam mulutmu, Bro!”

“Piranha asli atau bohongan?”

“Diamlah kalian!” hardik Chris, yang langsung dipatuhi. Pria itu menghela napas setelahnya. “Cynthia, bisa kau hentikan itu!”

Anak perempuan berpenampilan nyentrik di pojok kanan tersentak dan segera meluruskan badan. Sejak tadi perhatiannya terpaku pada si perak, bibirnya tersenyum memenuhi wajah, kelopak matanya terbuka lebar jelas pertanda ketertarikan.

“Karena semua sudah di sini, aku rasa inilah saatnya kalian tahu posisi masing-masing. Pertama ... apa lagi, Cynthia?”

“Apa tidak sebaiknya kita memperkenalkan diri dulu? Aku ingin mengenal teman satu timku sebaik mungkin sebelum menjadi partner kerja.” Cynthia menujukan kalimat tersebut kepada si perak, lantaran matanya tak henti menyorot pada pemuda tanpa lengan itu.

“Kalian punya waktu seumur hidup untuk saling kenal. Sekarang Tuan Besar ingin kalian beraksi segera setelah formasi lengkap.” Chris mentap keempat makhluk di depannya dengan sorot khawatir, karena sejauh ini belum ada satu pun yang fokus mendengarkan.

“Tuan Besar ingin kalian merekrut Isaac dan membawanya ke Mansion.” Kalimat Jason barusan membuat semua kepala menoleh padanya, ekspresi yang mereka tunjukkan pun berbeda, tapi semua menyaratkan perasaan jijik.

“Isaac? Tidak, tidak, tidak ... kita tidak suka Isaac, kita tidak butuh Isaac!” Cynthia menyambar, hidungnya berkedut-kedut.

“Kita mungkin tidak suka dia, tapi kita jelas butuh dia,” ralat Chris.

“Memang apa bagusnya bocah tolol berhidung bangir itu?” Si merah berkomentar. “Dia tidak ada bedanya dari Jeff, dan kita tidak butuh lebih banyak pecundang yang berpergian membawa-bawa pisau dapur!”

“Kalau ada satu makhluk berotak yang paling mengetahui rahasia terdalam Zalgo, maka Isaac adalah jawabannya.”

Nama Zalgo menimbulkan efek signifikan pada keempat jejeran junior itu. Statik pada tubuh Red bergerak lebih cepat, dia bahkan sempat hilang selama dua detik sebelum timbul kembali. Silver mengangkat kepala dari tanah, Cynthia dan Ben justru tertunduk saling lirik.

Bahkan Jason tidak terlihat ingin melontarkan kalimat sarkas, pria itu hanya memutar bola mata, bernapas lebih berat. Satu-satunya entitas yang mampu membuat Tuan Besar khawatir pastinya membuat monter terbengis sekalipun gugup.

“Bocah itu ....” Silver menyahut, suaranya lirih menggema. “Tidak bisa dipercaya.”

“Apa bedanya dengan kita?” Mata kuning Chris berkilat-kilat menatap Cynthia. “Isaac kabur dari Zalgo sama seperti kau kabur dari Kurt Cundy ....”

Gadis nyentrik itu menggeram, tapi detik selanjutnya mengeluarkan suara dengkingan. Chris beralih menatap Ben. “Seperti juga kau kabur dari ayah yang pemabuk ....”

Ben melengos melepehkan gelembung kecil dari mulut. Sedangkan Chris gantian menunjuk Silver dan Red. “Seperti kalian berdua kabur dari permainan besar ....” Pria itu menoleh pada Jason. “Seperti Jason kabur dari sirkus. Seperti aku kabur dari Rumah Bugenville.”

Sang Pengendali Boneka berjalan lambat ke tengah rombongan kecil itu, lantas tersenyum lebar menunjukkan rongga mulut bercahaya kuning neon. “Siapa bilang kita akan selamanya mengabdi pada Tuan Besar? Namun, selagi kita masih melakukannya, kita harus berbakti. Tuan besar memberi perintah, kita lakukan. Kita monster, bukan kaum bar-bar.”

Jason mendengkus, kedua bahunya terguncang menahan tawa. “Lagi-lagi sok berpidato bijak. Kau tahu, sekeras apa pun kau menjilat kepala si plontos itu, Laughing Jack akan tetap menjadi kesukaannya.”

Chris melirik tajam pria jangkung bertopi tinggi itu sekilas, tapi memutuskan untuk tidak membalas atau merobek wajah cengengesannya. “Cari Isaac, kalahkan dia, bawa pada Tuan Besar, dan kalian mungkin mendapatkan kamar pribadi dalam Mansion.”

“Aku tidak masalah tidur di selokan,” bisik Ben pada Red.

“Aku masalah.” Red balas berbisik.

“Kalian punya waktu seharian. Lebih cepat, lebih baik.” Chris balik badan, membuat gestur kepala agar Jason mengikuti.

Namun, pria berambut merah itu malah terkekeh. “Omong kosong, si Kepala Plontos tidak bicara apa pun soal batas waktu.” Baru dua langkan berjalan, Jason berbalik kembali menghadap para monster junior. “Oh, Cytnhia manisku, kau kutunjuk sebagai ketua.”

“Oh, yeah! Makan itu, makhluk-makhluk dungu!” Suara gadis itu serak dan berat, pertanda Martes tengah menguasai dirinya.

“Hey, hey ... mana ada perempuan jadi pemimpin!” Red berkacak pinggang, statik di tubuhnya berkedip cepat.

“Selamat datang di zaman modern, Merah!” balas Martes lewat mulut Cynthia.

“Lihat, dia bahkan tidak bisa menjadi ketua untuk dirinya sendiri.”

Jason mengangkat telunjuk, matanya bercahaya hijau terang sehingga Red tutup mulut. “Semakin kau menentang, semakin aku senang melakukannya, tolol!”

Pria itu merapatkan topi tinggi sambil tergelak. Dia menghampiri Chris yang memamerkan ekspresi merengut tak sabaran. Setelahnya, Jason melempar bom asap merah sehingga wujud dua makhluk itu menghilang, menyisakan gema tawa jenaka si pembuat mainan di langit malam.

Cynthia, Ben, dan Red saling lirik, sementara Silver masih asyik menonton semut-semut berbaris di tanah. Tubuh si merah menghilang cepat, lantas muncul kembali di sebelah Cynthia sambil merangkulnya.

“Nah, Nona Ketua. Sekarang apa yang harus kita lakukan supaya bisa menemukan Isaac?” Alih-alih menjawab, gadis itu malah menatap kosong ke cakrawala, sampai Red menjentik di depan hidungnya. “Hei, jangan bilang kau tidak tahu caranya!”

“Dia tahu,” tutur Silver tanpa menatap siapa pun. “Dia yang paling tahu.”

“Dia cuma berusaha untuk pura-pura tidak tahu,” sambung Ben.

Red menatap keduanya bergantian. “Apa maksud kalian?”

Ben menggosok lengan yang berbusik. “Kau pikir kenapa Jason menunjuknnya sebagai ketua kalau bukan untuk menggodanya. Cynthia yang malang, ini masa-masa paling berat untuknya. Bukan untuk Two Hundred, Martes, atau Lucas, tapi untuk Cynthia.”

Silver bergumam. “Masalah pribadi ... tidak profesional.”

“Ah, aku tahu ... kalian bertiga diam-diam sudah bersekongkol sebelumnya supaya membuatku tampak tolol! Terus apa? Kalian juga sudah membuat rencana untuk sepuluh tahun ke depan?” Tawa sekaligus kecepatan statik di tubuh Red membuatnya terlihat siap meledak kapan saja.

“Serius, Red? Aku tinggal di kolam persegi empat, dan aku tahu lebih banyak gosip,” kata Ben tanpa bermaksud apa pun, tapi terdengar penuh ejekan di telinga Red.

“Ya, sebab gosip memang cuma cocok untuk makhluk-makhluk tolol seperti kalian!”

“BAH!” Seruan Cynthia barusan membuat Red terlonjak dan menghilang. “Memang siapa yang peduli pada Isaac!”

“Kau,” sahut Ben.

“Aku tidak peduli dia teman pertama Jack di dunia! Aku tidak peduli Jack membicarakannya tiap ada kesempatan! Aku tidak peduli dia adalah kenangan termanis sekaligus terpahit bagi Jack! Aku tidak peduli fakta bahwa Jack pasti memilih dia daripada aku untuk dijadikan pasangan seumur hidup padahal aku jelas lebih berbakat dan lebih cantik dan peduli padanya dan rela melakukan apa pun untuknya dan siap mati untuknya. AKU TIDAK PEDULI!”

“Dia jelas peduli,” imbuh Red saat akhirnya muncul di sebelah Silver, merekatkan kembali topinya yang sempat copot.

Silver mengangguk pelan. “Sangat peduli.”

Ekspresi marah Cynthia berubah dingin dalam sedetik, lalu detik berikutnya kelopak mata gadis itu melebar, diikuti pupil mata mengecil sampai warna matanya terlihat hijau utuh. Seulas senyum pun terukir dari telinga ke telinga.

“Kita akan temukan Isaac bahkan sebelum dia bisa mengendus bau badan Ben.”

“Tolong jangan ungkit aroma alamiku dalam urusan ini.”

“Pertama, kita harus membuat umpan.” Gadis itu tampak berbunga-bunga.

***

Sinar bulan menerangi jejak-jejak sepatu pada tanah basah, satu jejak sepatu tersebar acak di banyak tempat sebab si pemakai sepatu tidak pernah berjalan lurus. Satu jejak lagi bahkan tidak berbentuk kaki, karena si pembuat jejak tidak memiliki kaki.

Tiga makhluk terlihat menenteng berlembar-lembar kain berbagai ukuran dan warna. Terlalu jelek kalau disebut handuk, terlalu tipis untuk jadi permadani, pastinya terlalu lembek untuk dijadikan gorden. Namun, yang jelas kain-kain itu tidak seharusnya ditenteng-tenteng, apa lagi diletakkan di tengah tanah perkuburan.

Red muncul bersama statiknya di depan gundukan kain lembek, mengempaskan kain-kain lain yang tadi dipanggulnya, lantas meregangkan punggung. “Yah, semua ini memang mengasyikan, tapi aku lebih suka berurusan dengan sesuatu yang masih segar.” Pemuda itu meneliti telapak tangannya. “Sialan, jari-jariku mati rasa saking dinginnya ruangan tadi!”

“Kita bisa berurusan dengan yang segar-segar di lain hari. Sekarang, target kita paling menyukai hidangan beku.”

Pemuda itu menggaruk kepala di balik topi cap merahnya. “Benar-benar tidak sehat ... Nah, sekarang apa?”

“Menunggu.”

“Apa? Kita tidak punya waktu semalaman! Dan siang hari adalah jam tidur, apakah aku dibayar untuk semua pekerjaan ini? Tidak! Kita bahkan tidak dibayar sama sekali!”

“Sabar, Red. Sesuatu yang baik selalu terjadi pada orang sabar,” jawab Cynthia sambil terkikik, dia juga baru selesai menambah lapisan baru pada gundukan kain lembek. “Benny, kau bisa melakukan tugasmu sekarang.”

Si bocah elf hijau mengangguk, dia menggulung lengan baju yang memang sudah pendek, memasang kuda-kuda selebar bahu. Suara bergejolak bak air mendidih terdengar dari perut cekungnya yang tiba-tiba membuncit. Perlahan gejolak air itu berpindah ke ulu hati, paru-paru, serta kerongkongan hingga akhirnya Ben memuntahkan cairan hijau berlendir ke atas gundukkan kain. Bocah itu terkekeh sambil menyeka mulutnya.

“Kerja bagus, Benny.” Cynthia menepuk kepala pemuda itu.

Silver meneliti gundukan kain yang lebih tinggi dari kepalanya, dia memang bukan pria tinggi—mungkin akan berbeda jika dia mempunyai kaki. Gundukan kain itu kini berasap akibat cairan dari perut Ben. Aroma yang dikeluarkan asap berpadu kain-kain itu jauh dari kata sedap. Akan tetapi, hidung keempat makhluk ini sudah tidak bisa membedakan mana aroma tidak sedap, dan mana aroma tubuh mereka sendiri.

“Sudah selesai sekarang.” Si perak bergumam.

Cynthia merangkul leher pemuda itu demi membantunya berpindah tempat ke kumpulan batu nisan. Red dan Ben membuntuti, memilih nisan persembunyian masing-masing.

“Tidak akan lama menunggunya. Dia murahan,” bisik Cynthia.

Kabut tipis bercampur asap cairan perut mendominasi penglihatan, jangkrik berbunyi sesekali, kukuk burung hantu menimpali di sela-sela jeda, serigala tidak terdengar sama sekali padahal banyak perbukitan yang menghadap langsung pada bulan purnama.

Hewan-hewan malam itu tak sabar menunggu pagi tiba agar para tamu tak diundang ini segera kembali dari mana pun mereka berasal. Selanjutnya suara berdecak cepat terdengar berulang-ulang, diiringi langkah canggung. Hewan-hewan malam memilih diam sepenuhnya sehingga angin membawa suara decak itu ke seluruh area perkuburan.

Seringai pun terukir di wajah Cynthia. “Silver, bersiaplah ... target kita sudah datang.”

Sekonyong-konyong sesosok bayangan muncul di depan gundukan kain-kain lembek, membelakangi empat serangkai yang bersembunyi di belakang nisan. Sosok itu berpakaian gelap serba kebesaran, memakai topeng mata berhidung besar-bengkok bak paruh bangau.

Dia tidak jauh lebih tinggi dari tumpukan kain padahal masih punya dua kaki utuh. Dari gerak-gerik serta langkah canggung cepat ke sana-sini, sosok itu lebih terlihat gembira daripada terganggu pada suguhan di depannya. Tangan kurus berjari bengkok mulai meraba-raba tumpukan kain lembek. Bahunya berguncang entah karena angin dingin atau tawa.

“Sekarang!” Suara Martes keluar dari mulut Cynthia.

Begitu saja, kelopak mata sayu Silver terbuka lebar menunjukkan hampir seluruh bola matanya. Cahaya merah memancar dari sana sehingga kain-kain lembek yang bertumpuk terburai ke segala arah. Sosok bertopeng tersentak, sudah siap memacu kaki untuk kabur, tapi selembar kain lembek membungkusnya seperti kepompong. Silver menggerakkan kepala hingga satu kain membungkus sosok itu lagi, gerak kepala selanjutnya membuat kain lain membungkus.

Begitu seterusnya sampai kain habis, dan sosok bertopeng tampak seperti kepompong gemuk berkepala lonjong. Sosok itu meronta untuk membebaskan diri, tapi belenggu kain lembek setebal beton membuat hanya kepalanya yang bergerak, serta rambut gondrong lepek terkibas kasar. Silver menyorot kepompong manusia itu dengan penglihatan sehingga dia berdiri tegak, akhirnya mampu menatap biang keladi penangkapan satu per satu.

“Isaac, Isaac ... pernahkah kau mendengar istilah ‘jual mahal’?” Cynthia memilin rambut seiring langkahnya mendekati kepompong itu. “Kalau dipancing semudah ini bisa-bisa pelarianmu dari Sang Iblis jadi percuma.”

Mata di dalam topeng paruh burung bangau terpicing. “Cynthia?”

“Bukan, aku Deborah mantan pacarmu saat SMA!” Suara gadis itu berubah serak.

“Tentu saja ... siapa lagi makhluk yang tahu hidangan kesukaanku.” Setelahnya, Isaac mengibas rambut demi menatap yang lain, lantas tawa jenaka terdengar dari mulut lebarnya. “Jangan bilang ... kalian calon rekrutan baru Tuan Besar?”

“Kami sudah sah,” ralat Ben, “kau adalah misi pertama kami supaya mendapat kamar pribadi dalam Mansion.”

Tawa pemuda bertopeng malah semakin kencang. “Kalian para pecundang bodoh. Diperintah ini-itu agar para petinggi bisa uncang-uncang kaki menikmati hidup abadi, sementara kalian bekerja seperti budak, dan merasa puas dengan imbalan paling sepele.” Pemuda itu terbatuk menyembur liur ke segala arah. “Coba lihat aku, sebebas angin karena aku adalah Tuan bagi diriku sendiri.”

“Ya, kenyataannya posisimu sekarang tidak terlihat sebebas angin, ‘kan?” kata Red, statik di tubuhnya bergerak seiring tawa. “Mungkin kau harus segera ganti menejemen. Tuanmu yang sekarang tidak becus.”

Cynthia dan Ben ikut tertawa, sementara Isaac mendengkus hingga rambut depannya tertiup. “Kenapa kalian menggangguku?”

Belum sempat pertanyaan itu dijawab, Silver memejamkan mata sehingga kepompong terjatuh ke tanah basah cukup keras. Ben dan Red membopongnya ke atas troli barang, sementara Cynthia mengangkut Silver yang kelelahan ke tempat sama, untuk mengawasi tawanan mereka. Troli pun didorong oleh Red seiring mereka menjauhi lahan perkuburan, diikuti hewan-hewan malam yang akhirnya leluasa mengeluarkan suara.

“Katakanlah kau aset berharga bagi Tuan Besar saat ini.” Red menanggapi, statik di tubuhnya muncul dalam jarak agak lama sebab suasana hatinya tengah bagus. “Tolol dan murahan, tapi tetap aset berharga.”

“Sudah kuduga.” Isaac menyeringai. “Itu memang keahlianku.”

“Menjadi tolol dan murahan?” Ben memicing kepadanya.

“Jadi aset berharga,” ralat Isaac. “Di kubu mana pun aku berada, aku akan selalu penting dan dibutuhkan.”

Cynthia terkikik nyaring. “Jangan percaya diri dulu, Isaac, bukan tubuhmu, atau kemampuanmu, atau otak cerdasmu yang Tuan Besar inginkan. Dia cuma mau pengetahuanmu tentang kubu lawan.”

“Itu termasuk tubuhku!”

“Dan kami sudah memilikinya. Sisanya ... kau sudah tahu, ‘kan?”

Untuk pertama kalinya, sorot mata di dalam topeng memancarkan kekhawatiran. Bahkan monster terbengis memiliki kelemahan, dan saat kelemahan itu dijadikan senjata untuk mengorek informasi, mustahil siapa pun (dalam kasus ini makhluk apa pun) bisa tetap menyimpan informasi tersebut sendiri.

Pertanyaannya, berapa lama informasi itu bisa keluar? Jawabannya bisa tergantung pertahanan diri, atau kepuasan Tuan Besar dalam permainannya. Isaac mengetahui semua itu dari praktek langsung, dan semenjak itulah mimpi-mimpi buruk tak pernah absen mendatangi tidurnya, sampai ia memutuskan untuk berhenti tidur.

“Ya, aku tahu ... tapi setidaknya aku bisa bertemu LJ.” Pemuda bertopeng itu diam sejenak, menanti raksi Cynthia. “Setelah sekian abad, lega rasanya mengetahui ternyata aku masih teman kesayangannya.”

Cynthia tidak merespons, dan itu memang respons yang diinginkan Isaac. “Mungkin kami akan pergi, berdua saja. Mengenang masa-masa indah saat menghadapi asam-garam dunia, melupakan segalanya dan memulai hidup baru.”

Sementara Red dan Silver saling lirik, Ben menjambak rambut lepek si kepompong cukup keras. “Tutup mulutmu, Beo!”

Alih-alih menurut, pemuda itu malah terkekeh. “Lucu kau menyebut itu. Kau tahu LJ menyebutku apa? Beo Gelap. Kalian semua tahu sebutan itu, karena LJ selalu menceritakan tentangku pada semua orang. Tapi coba tebak ....”

Sekali lagi Isaac memberi jarak pada ucapannya seraya melirik Cynthia. “Aku tidak tahu siapa kalian, atau apa sebutan kalian. Sebab saat bersamaku, LJ hanya berfokus kepadaku, dia hanya peduli kepadaku!”

“Kalian tidak berarti untuknya. Kau tidak berarti apa-apa untuknya, Cynthia!” Keluar sudah maksud asli dari pidato Isaac. “Dahulu dia sudah pernah memilih, dan jika disuruh memilih lagi sekarang, atau besok, atau lusa, pilihannya akan tetap sama. Dan yang akan dipilih LJ bukanlah kau, Cynthia. Tidak akan pernah!”

Saat Cynthia masih saja berjalan, Isaac berteriak semakin lantang. “Dia akan selalu memilihku! Isaac Gross ....”

Ayunan martil sebesar dua kepal tangan orang dewasa menghantam sisi kiri wajah pemuda itu. Belum sempat bereaksi, hantaman lain mendarat di sisi wajah kanan. Dua kali, tiga kali, empat kali, hantaman datang dari berbagai sisi. Hantaman terakhir mendarat di ubun-ubun si kepompong hingga kepala itu jatuh terkulai seperti balon air.

"Memang itulah dirimu. Gross!"

Cynthia meniup rambut yang menutupi wajah, sorot matanya dingin, Lucas pun tidak mampu mengeluarkan tatapan seperti itu. Tubuhnya mengeluarkan suara geram rendah, yang pasti membuat Two Hundred gemetaran, dan ekspresi kerasnya jelas membuat Martes minder. Gadis itu mengeluarkan napas berat seolah ia lupa melakukannya selama bertahun-tahun.

“Eh, Cynthia ... aku ragu dia masih berguna kalau kepalanya hancur. Mungkin lain kali cukup sekali hantam saja?” Red menceletuk.

“Kepalanya baik-baik saja,” sahut Cynthia. “Ayo, jalan terus sebelum matahari terbit.”

Perjalanan terasa canggung setelahnya, bukan berarti sebelumnya perjalanan mereka berlangsung asyik dan menyenangkan. Hanya saja, jika suasana hati Cynthia tidak baik, maka Martes, Two Hudred, dan Lucas ikut menjadi penggerutu.

Mereka tidak pernah bertingkah manis saat menjadi penggerutu, terutama Two Hundred yang mulai menggigit apa pun atau siapa pun yang terlintas mata. Posisi keempat makhluk itu masih cukup jauh dari tujuan, dan jarak sejauh itu jelas menjadi sasaran empuk bagi mata-mata yang mengawasi. Misi pertama mereka, masih jauh dari kata selesai.

Comments

Popular posts from this blog

Pan has Grown Up

Keunggulan Dua Pangeran