Keunggulan Dua Pangeran
Beberapa bulan belakangan, pemandangan setiap pagi di Kerajaan Selatan didominasi para Elf yang berkerja penuh semangat riang gembira. Mengecat ulang, memperbarui pondasi, membabat tanaman benalu, menjahit gorden jendela. Segala hal yang bisa dirombak menjadi lebih baik akan mereka lakukan tanpa disuruh. Para Elf bekerja setiap hari sejak pagi hingga larut malam, bahkan mereka berinisiatif untuk berganti jam kerja sehingga kegiatan renovasi tidak berhenti selama 24 jam penuh. Berkat para Elf, Istana Selatan nyaris kembali terlihat baru hanya dalam tiga bulan. Istana Selatan menjadi bersih, kokoh, serta mewah, sebagaimana mestinya sebuah Istana.
Namun, ada satu ruangan yang tidak pernah direnovasi satu kali pun, yaitu ruangan teratas di menara paling tinggi, alias ruangan Edmund. Setiap kali para Elf berusaha masuk, Edmund akan membentak mereka, lantas membuat Falsies-falsies malang itu kocar-kacir ketakutan. Sebelumnya, tidak pernah ada yang berani memasuki ruangan Edmund bahkan di dalam imajinasi mereka. Hanya satu Troll bernama Kursak yang tahu bagaimana isi dari ruangan sang Raja, itupun harus dengan izin. Lagi pula, Edmund tidak terbiasa melihat istananya dipenuhi rutinitas serta keramaian.
Ketika kastel itu dipenuhi Falsies buangan, tidak pernah ada satu suara pun terdengar sehingga angin bisa menjelajah ke setiap sudut kastel sesukanya. Falsies buangan tidak pernah bicara, mereka hanya menggeram sesekali, atau menimbulkan dentuman langkah. Itu sebabnya Istana Selatan terkenal dingin, seperti Rajanya. Namun kini, berbagai macam suara bahkan nyanyian masuk ke telinga Edmund tanpa henti, terkadang semua itu menjadi terlalu mengganggu sampai-sampai ia harus membenamkan kepala di bantal atau seember air.
“Pergi dari sini!” jeritnya penuh amarah, ketika pintu kamar lagi-lagi diketuk, mungkin untuk yang keseratus kali hari ini.
“Ini aku!” balas suara bariton kekanakkan. Tanpa persetujuan, pemuda berambut ikal masuk dengan cengiran lebar. “Pantas saja para Elf ketakutan. Kau berteriak sekeras itu. Kenapa kau marah-marah terus, Ed?”
“Mereka berkali-kali masuk seenaknya ke dalam kamarku. Seharusnya mereka dihukum, begitu juga denganmu!” Edmund membuang muka, beralih pada jendela besar.
Wiggy berdiri di sebelahnya. “Mereka hanya mencoba membantu. Ayolah, jangan terus-terusan menjadi penggerutu. Kau sudah bukan dirimu yang dulu.”
Akhirnya Edmund melirik, lantas menghela napas cepat. “Aku tidak terbiasa dengan segala keramaian ini. Aku bahkan merasa tidak nyaman di kamarku sendiri, para Elf tolol itu muncul sesuka hati padahal berkali-kali kukatakan jangan melakukan itu! Aku tidak bisa menutup mata barang lima menit!”
“Mereka memang bebal kadang-kadang ....” Wiggy terkekeh, tapi langsung berhenti saat wajah Edmund masih kesal. “Jangan khawatir, aku akan bicara pada Toddy. Aku pastikan para Elf tidak akan pernah mengganggumu lagi.”
“Ya sebaiknya begitu ....” Edmund kembali berpaling ke luar jendela, menatap jamur-jamur menyala yang ternyata begitu menyilaukan dari jarak sedekat ini.
Wiggy menyadari ekspresi sang adik tampak tidak puas dengan solusi tersebut. “Baiklah, katakan kau ingin aku berbuat apa?”
Pria pirang itu tampak ragu, mengusap hidung lancipnya pertanda ia sedang gugup, kemudian baru benar-benar menatap Wiggy. “Aku ingin Kerajaan Selatan kembali seperti dulu, sepi dan tenang.”
Air muka Wiggy berubah. “Maksudmu dingin dan suram?”
“Keramaian seperti ini membuatku risi, Edwig! Aku tidak nyaman melakukan segala hal akibat selalu ada Elf ke mana pun mataku melirik. Seolah istana ini bukan milikku lagi!”
“Istana ini jelas milikmu Edmund! Tapi kau harus ingat kalau ini istanaku juga,” entak Wiggy sedikit tersulut.
“Tempatmu di Wilayah Utara.” Edmund membalas begitu dingin. “Begitu juga para Elf dan jamur-jamur menyala. Kalian memang lebih cocok di sana.”
“Jadi kau mengusirku?”
“Aku hanya ingin ketenangan si istanaku kembali.”
“Asal kau tahu, Edmund ... tidak ada satu manusia pun yang bisa hidup sendiri, bahkan seorang raja.”
Edmund tidak mengatakan apa-apa, tidak juga menatap balik, jadi Wiggy segera melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Edmund dalam kesunyian. Segera setelah pintu tertutup, pria itu menoleh. Ada sedikit penyesalan melihat Wiggy pergi, tapi sebagian hatinya memang menginginkan hal tersebut. Mungkin keramaian memang tidak akan pernah cocok dengan gaya hidupnya, mungkin dalam hal ini ia tidak akan pernah bisa berubah. Perlahan, hiruk-pikuk samar di sekeliling meredup hingga akhirnya tidak terdengar sama sekali. Edmund melangkah ke luar kamar, mendapati lorong bersih yang sepi. Sudut langit-langit yang biasanya bersarang laba-laba kini kosong, bahkan Edmund baru menyadari ada ukiran ombak di sana, klasik dan elegan.
Hampir setiap ruangan seolah menjadi baru, termasuk ruang singgasana. Susunan bata yang berkilau, jendela raksasa bermotif sepasang kuda tengah meringkik sebagai lambang kerajaan South-North. Karpet merah cerah terbentang dari gerbang masuk, lentera-lentera emas, juga empat takhta yang baru Edmund sadari memiliki warna sebanyak itu. Edmund duduk di takhta paling besar, terasa empuk dan nyaman. Pria itu pasti terlihat gagah saat ini, jika saja ada mata yang melihat. Dia pasti dihujani pujian, jika saja ada seseorang yang bisa memberikannya. Edmund menghela napas, kepalanya mendongak begitu saja, lantas teringat bahwa ada rangkaian lukisan sureal dramatis memenuhi langit-langit ruangan. Seolah baru dilukis beberapa jam lalu, lukisan-lukisan itu memperlihatkan para raja Soth-North terdahulu.
Ada Kakek dari kakek buyutnya Raja Ethelred, pendiri kerajaan South-North. Kakek buyutnya Raja Ethbard si ahli politik, bersebelahan dengan kakeknya, Raja Egbert yang paling bijaksana. Lalu ada ayahnya, Raja Ethelwulf yang mendapat julukan Si Hati Singa. Mereka tampak gagah dengan balutan jubah besar, tongkat panjang bertakhta berlian, serta mahkota emas yang memiliki bentuk istimewa tersendiri. Seingat Edmund, lukisan berakhir di ayahnyaa, sebab Raja baru tidak pernah ada akibat serangan Falsies buangan. Akan tetapi, tepat di sebelah lukisan sang ayah masih ada dua pemuda lain, satu berambut pirang cerah dan lurus, sementara satunya pirang lebih keruh dan ikal. Tidak perlu melihat dua kali untuk mengetahui bahwa itu adalah Edwig dan Edmund.
Edmund tidak perah ingat ada lukisan mereka di sana, sebab tidak satu pun dari dia maupun Edwig pernah dinobatkan menjadi raja. Sedangkan lukisan itu dibuat setiap kali ada raja baru yang dimahkotai. Edmund melupakan sejenak masalah itu dan melihat-lihat ruangan lain. Embusan angin terdengar familiar, tapi juga begitu aneh, seolah lebih sepi dari sebelumnya. Pria itu memasuki ruang keluarga, jauh lebih kecil dari ruangan lain, tapi paling hangat karena ada tungku api menyala, juga sebuah kursi goyang kayu. Sesuatu mendorong Edmund untuk duduk bersila di depan kursi tersebut, lantas merasakan nyeri aneh di hati sampai tangannya harus meraba dada berusaha menghilangkan perasaan tersebut.
“Kenapa harus Edwig, Bu? Nilai-nilaiku jauh lebih bagus, kemampuan pedangku juga lebih hebat, aku jelas lebih unggul dari Edwig dalam segala hal!”
Wanita paruh baya berambut cokelat tersenyum menunjukkan kerut ramah meneduhkan. Terlihat dari tiara perak di sanggulnya bahwa dia adalah seorang ratu. Bisa dibilang Ratu idaman setiap negeri sebab dia rendah hati serta loyal. Wanita itu mengelus kepala pangeran kecilnya yang akhir-akhir ini tidak pernah berhenti membicarakan dirinya menjadi raja.
“Semua itu benar, Sayang. Tapi ada satu keunggulan Edwig yang mustahil bisa kau tandingi.”
Pupil Edmund membesar. “Apa itu? Aku yakin bisa menandinginya juga!”
Wanita itu terkekeh. “Yang ini tidak mungkin bisa, Mundy ....”
“Apa yang tidak mungkin untukku, Bu? Aku selalu bisa mengungguli Edwig. Bermain pedang, menunggang kuda, membuat puisi dan pidato, mengerjakan soal dari Edgar. Aku yang paling hebat!” Bocah sepuluh tahun itu membusungkan dada.
Namun, sang ibu malah tertawa lebih keras. “Ibu akui kau bisa mengungguli Edwig dalam segala hal. Kau anak yang cerdas dan selalu ingin belajar, semua orang tahu itu. Tapi tidak yang satu ini, karena keunggulan Edwig yang ini sangat istimewa.”
“Bisakah ibu katakan saja!” cecar bocah lelaki itu, menepis cubitan ibunya.
Sang ibu menoleh kiri dan kanan seolah akan memberitahu rahasia besar. “Keunggulan Edwig yang tidak mungkin bisa kau tandingi adalah ... usianya.”
Edmund kecil melongo. “Cuma itu? Aku yakin bisa lebih tua dari Edwig suatu hari nanti!”
“Mundy, Ibu bersumpah akan menjadi orang pertama yang mendukungmu dalam segala hal, tapi tidak yang satu ini,” jelas Ratu Anba setelah tawanya mereda. “Edwig lahir lebih dulu, dia abangmu. Sekuat apa pun kau berusaha, menjadi lebih tua dari abangmu adalah hal yang mustahil. Ibu tidak mau kau melakukan hal yang mustahil, Sayang.”
Meski kecewa, Edmund tetap memasang wajah bebal dengan alis bertautan. “Itu tidak adil! Kalau begitu, apa keunggulanku yang tidak dimiliki Edwig?”
Ratu Anba mendudukkan Edmund di pangkuannya. Meski tahu anak itu akan berontak mengatakan kalau ia sudah besar, wanita itu tetap melakukannya. Mendekap anak lelakinya erat-erat. “Coba kita lihat ... selain otak emasmu, juga ketampananmu, apa lagi keunggulan luar biasa yang kau punya ....”
Sang ratu menerawang serius, juga membuat Edmund menyimak penasaran. Sedetik kemudian, wanita itu mencolek hidung lancip anaknya dengan gemas. “Oh iya ... kau adalah seorang adik.”
Saking kebingungannya, Edmund sampai tidak kepikiran menepis cubitan sang ibu. “Menjadi adik adalah keunggulan?”
“Bukan hanya itu, menjadi adik juga keistimewaan dan keberuntungan, sebab sebesar apa pun masalah, kau selalu tahu bahwa ada seseorang yang siap berdiri di sampingmu. Sejauh apa pun kau pergi, kau selalu punya tempat untuk pulang.” Ratu Anba menjelaskan. “Seorang kakak rela berkorban demi membela adiknya, memastikan sang adik nyaman serta aman sebelum dirinya sendiri. Itulah keunggulanmu yang tidak dimiliki Wiggy sampai kapan pun.”
“Memangnya Edwig akan melakukan itu semua demi aku?”
“Pasti, dia pasti melakukan semua itu demi kau, Sayang. Dia begitu mencintaimu.” Wanita itu menguatkan rangkulannya. “Maka sebagai tanda terima kasih, kau lakukanlah hal serupa kepada Wiggy. Dengan begitu kalian akan selalu hidup rukun, seperti seharusnya kakak beradik.”
Edmund ingat saat itu ia tidak membalas, dan langsung pergi ketika pengawal menjemput ke arena latihan. Bocah itu mengerti betul setiap kalimat dari sang ibu, tapi dia tidak puas, dan masih terus mencoba untuk mengungguli sang kakak dalam usia. Terbukti, usaha kerasnya berhasil. Secara teknis Edmund menjadi lebih tua dari Edwig dan akhirnya menjadi Raja Selatan. Meskipun itu mengorbankan banyak hal, termasuk juga Ibu dan Ayah tercinta, menghancurkan negeri besar yang juga rumah tempatnya pulang. Tapi dia tetap berhasil.
“Lantas apa yang kumenangkan?” gumam Edmund dibalas suara bara api membakar kayu dari dalam tungku.
Edmund tidak pernah sekali pun merasa bahagia setelah segala keinginannya terkabul, sebaliknya ia merasa semakin tersesat. Namun, ego mengalahkan nurani. Ini yang dia mau, dan inilah yang dia dapatkan. Semua sepadan dan ia harus berusaha merasa puas. Akhirnya ego bertahan seratus tahun, menunda dongeng yang seharusnya memiliki akhir bahagia sekian lama. Manik biru itu kembali menjelajah ruangan yang sunyi, sebagaimana yang selalu ia inginkan selama ini. Setidaknya begitu sebelum sebutir air menetes jatuh di dagunya.
“Tuan, kami ingin tinggal di Istana!”
“Kami sudah bekerja berbulan-bulan, dan belum sempat menikmatinya!”
“Kenapa bukan Edmund saja yang pergi!”
“Kita berhak tinggal di sana!”
Keluhan demi keluhan datang dari para Elf semenjak mereka kembali ke Wilayah Utara. Selama itu juga Wiggy berusaha menulikan telinga, tapi semakin lama makhluk-makhluk kerdil itu membuat kepalanya hendak pecah juga. Mereka mengeluh saat memasak, saat menyiapkan meja, saat makan. Ini sudah dekat jam tidur, dan mereka belum lelah menuntut untuk kembali ke Istana Selatan.
“Toddy, suruh teman-temanmu tutup mulut!” bentak Wiggy dengan mata melotot yang spontan membuat semua mulut Elf tertutup rapat. “Aku bersumpah kalau pohon Noby sudah berbuah, kau yang selanjutnya kutanam!”
“Kalian tahu apa yang membuat kita diusir dari istana? Karena kita tidak punya tata krama, dan aku bersumpah akan lebih mudah mengajari para Cylop daripada kalian! Dasar bebal!” Wiggy belum selesai. “Kalau saja kalian bisa tenang sedikit, biasakan untuk izin atau setidaknya mengetuk pintu sebelum masuk ruangan, bicara pelan-pelan, tentunya kita tidak akan di sini sekarang!”
Tidak ada yang berani menanggapi omelan itu. Semua kepala Elf tertunduk sendu, menyadari kesalahan mereka. “Maafkan kami, Tuan ....” Toddy mewakili teman-temannya.
Pemuda itu mengacak rambut ikalnya. “Pergilah kalian! Kerjakan sesuatu atau lakukan apa pun, asal menghilang dari hadapanku!”
“Tapi, Tuan ....” Toddy melangkah maju.
“SEKARANG!”
Para Elf berlarian panik keluar dari ruang makan, yang sedang membereskan peralatan pun meletakkan kembali piringnya demi kabur. Wiggy mengusap wajah dengan kedua tangan, sekarang ia tahu alasan mengapa Phillip, Louise, bahkan Edmund tidak pernah tahan dan selalu marah-marah jika berada di dekatnya. Pasti karena dia memang menyebalkan, persis Falsies Utara.
Ketika kastel itu dipenuhi Falsies buangan, tidak pernah ada satu suara pun terdengar sehingga angin bisa menjelajah ke setiap sudut kastel sesukanya. Falsies buangan tidak pernah bicara, mereka hanya menggeram sesekali, atau menimbulkan dentuman langkah. Itu sebabnya Istana Selatan terkenal dingin, seperti Rajanya. Namun kini, berbagai macam suara bahkan nyanyian masuk ke telinga Edmund tanpa henti, terkadang semua itu menjadi terlalu mengganggu sampai-sampai ia harus membenamkan kepala di bantal atau seember air.
“Pergi dari sini!” jeritnya penuh amarah, ketika pintu kamar lagi-lagi diketuk, mungkin untuk yang keseratus kali hari ini.
“Ini aku!” balas suara bariton kekanakkan. Tanpa persetujuan, pemuda berambut ikal masuk dengan cengiran lebar. “Pantas saja para Elf ketakutan. Kau berteriak sekeras itu. Kenapa kau marah-marah terus, Ed?”
“Mereka berkali-kali masuk seenaknya ke dalam kamarku. Seharusnya mereka dihukum, begitu juga denganmu!” Edmund membuang muka, beralih pada jendela besar.
Wiggy berdiri di sebelahnya. “Mereka hanya mencoba membantu. Ayolah, jangan terus-terusan menjadi penggerutu. Kau sudah bukan dirimu yang dulu.”
Akhirnya Edmund melirik, lantas menghela napas cepat. “Aku tidak terbiasa dengan segala keramaian ini. Aku bahkan merasa tidak nyaman di kamarku sendiri, para Elf tolol itu muncul sesuka hati padahal berkali-kali kukatakan jangan melakukan itu! Aku tidak bisa menutup mata barang lima menit!”
“Mereka memang bebal kadang-kadang ....” Wiggy terkekeh, tapi langsung berhenti saat wajah Edmund masih kesal. “Jangan khawatir, aku akan bicara pada Toddy. Aku pastikan para Elf tidak akan pernah mengganggumu lagi.”
“Ya sebaiknya begitu ....” Edmund kembali berpaling ke luar jendela, menatap jamur-jamur menyala yang ternyata begitu menyilaukan dari jarak sedekat ini.
Wiggy menyadari ekspresi sang adik tampak tidak puas dengan solusi tersebut. “Baiklah, katakan kau ingin aku berbuat apa?”
Pria pirang itu tampak ragu, mengusap hidung lancipnya pertanda ia sedang gugup, kemudian baru benar-benar menatap Wiggy. “Aku ingin Kerajaan Selatan kembali seperti dulu, sepi dan tenang.”
Air muka Wiggy berubah. “Maksudmu dingin dan suram?”
“Keramaian seperti ini membuatku risi, Edwig! Aku tidak nyaman melakukan segala hal akibat selalu ada Elf ke mana pun mataku melirik. Seolah istana ini bukan milikku lagi!”
“Istana ini jelas milikmu Edmund! Tapi kau harus ingat kalau ini istanaku juga,” entak Wiggy sedikit tersulut.
“Tempatmu di Wilayah Utara.” Edmund membalas begitu dingin. “Begitu juga para Elf dan jamur-jamur menyala. Kalian memang lebih cocok di sana.”
“Jadi kau mengusirku?”
“Aku hanya ingin ketenangan si istanaku kembali.”
“Asal kau tahu, Edmund ... tidak ada satu manusia pun yang bisa hidup sendiri, bahkan seorang raja.”
Edmund tidak mengatakan apa-apa, tidak juga menatap balik, jadi Wiggy segera melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Edmund dalam kesunyian. Segera setelah pintu tertutup, pria itu menoleh. Ada sedikit penyesalan melihat Wiggy pergi, tapi sebagian hatinya memang menginginkan hal tersebut. Mungkin keramaian memang tidak akan pernah cocok dengan gaya hidupnya, mungkin dalam hal ini ia tidak akan pernah bisa berubah. Perlahan, hiruk-pikuk samar di sekeliling meredup hingga akhirnya tidak terdengar sama sekali. Edmund melangkah ke luar kamar, mendapati lorong bersih yang sepi. Sudut langit-langit yang biasanya bersarang laba-laba kini kosong, bahkan Edmund baru menyadari ada ukiran ombak di sana, klasik dan elegan.
Hampir setiap ruangan seolah menjadi baru, termasuk ruang singgasana. Susunan bata yang berkilau, jendela raksasa bermotif sepasang kuda tengah meringkik sebagai lambang kerajaan South-North. Karpet merah cerah terbentang dari gerbang masuk, lentera-lentera emas, juga empat takhta yang baru Edmund sadari memiliki warna sebanyak itu. Edmund duduk di takhta paling besar, terasa empuk dan nyaman. Pria itu pasti terlihat gagah saat ini, jika saja ada mata yang melihat. Dia pasti dihujani pujian, jika saja ada seseorang yang bisa memberikannya. Edmund menghela napas, kepalanya mendongak begitu saja, lantas teringat bahwa ada rangkaian lukisan sureal dramatis memenuhi langit-langit ruangan. Seolah baru dilukis beberapa jam lalu, lukisan-lukisan itu memperlihatkan para raja Soth-North terdahulu.
Ada Kakek dari kakek buyutnya Raja Ethelred, pendiri kerajaan South-North. Kakek buyutnya Raja Ethbard si ahli politik, bersebelahan dengan kakeknya, Raja Egbert yang paling bijaksana. Lalu ada ayahnya, Raja Ethelwulf yang mendapat julukan Si Hati Singa. Mereka tampak gagah dengan balutan jubah besar, tongkat panjang bertakhta berlian, serta mahkota emas yang memiliki bentuk istimewa tersendiri. Seingat Edmund, lukisan berakhir di ayahnyaa, sebab Raja baru tidak pernah ada akibat serangan Falsies buangan. Akan tetapi, tepat di sebelah lukisan sang ayah masih ada dua pemuda lain, satu berambut pirang cerah dan lurus, sementara satunya pirang lebih keruh dan ikal. Tidak perlu melihat dua kali untuk mengetahui bahwa itu adalah Edwig dan Edmund.
Edmund tidak perah ingat ada lukisan mereka di sana, sebab tidak satu pun dari dia maupun Edwig pernah dinobatkan menjadi raja. Sedangkan lukisan itu dibuat setiap kali ada raja baru yang dimahkotai. Edmund melupakan sejenak masalah itu dan melihat-lihat ruangan lain. Embusan angin terdengar familiar, tapi juga begitu aneh, seolah lebih sepi dari sebelumnya. Pria itu memasuki ruang keluarga, jauh lebih kecil dari ruangan lain, tapi paling hangat karena ada tungku api menyala, juga sebuah kursi goyang kayu. Sesuatu mendorong Edmund untuk duduk bersila di depan kursi tersebut, lantas merasakan nyeri aneh di hati sampai tangannya harus meraba dada berusaha menghilangkan perasaan tersebut.
***
“Kenapa harus Edwig, Bu? Nilai-nilaiku jauh lebih bagus, kemampuan pedangku juga lebih hebat, aku jelas lebih unggul dari Edwig dalam segala hal!”
Wanita paruh baya berambut cokelat tersenyum menunjukkan kerut ramah meneduhkan. Terlihat dari tiara perak di sanggulnya bahwa dia adalah seorang ratu. Bisa dibilang Ratu idaman setiap negeri sebab dia rendah hati serta loyal. Wanita itu mengelus kepala pangeran kecilnya yang akhir-akhir ini tidak pernah berhenti membicarakan dirinya menjadi raja.
“Semua itu benar, Sayang. Tapi ada satu keunggulan Edwig yang mustahil bisa kau tandingi.”
Pupil Edmund membesar. “Apa itu? Aku yakin bisa menandinginya juga!”
Wanita itu terkekeh. “Yang ini tidak mungkin bisa, Mundy ....”
“Apa yang tidak mungkin untukku, Bu? Aku selalu bisa mengungguli Edwig. Bermain pedang, menunggang kuda, membuat puisi dan pidato, mengerjakan soal dari Edgar. Aku yang paling hebat!” Bocah sepuluh tahun itu membusungkan dada.
Namun, sang ibu malah tertawa lebih keras. “Ibu akui kau bisa mengungguli Edwig dalam segala hal. Kau anak yang cerdas dan selalu ingin belajar, semua orang tahu itu. Tapi tidak yang satu ini, karena keunggulan Edwig yang ini sangat istimewa.”
“Bisakah ibu katakan saja!” cecar bocah lelaki itu, menepis cubitan ibunya.
Sang ibu menoleh kiri dan kanan seolah akan memberitahu rahasia besar. “Keunggulan Edwig yang tidak mungkin bisa kau tandingi adalah ... usianya.”
Edmund kecil melongo. “Cuma itu? Aku yakin bisa lebih tua dari Edwig suatu hari nanti!”
“Mundy, Ibu bersumpah akan menjadi orang pertama yang mendukungmu dalam segala hal, tapi tidak yang satu ini,” jelas Ratu Anba setelah tawanya mereda. “Edwig lahir lebih dulu, dia abangmu. Sekuat apa pun kau berusaha, menjadi lebih tua dari abangmu adalah hal yang mustahil. Ibu tidak mau kau melakukan hal yang mustahil, Sayang.”
Meski kecewa, Edmund tetap memasang wajah bebal dengan alis bertautan. “Itu tidak adil! Kalau begitu, apa keunggulanku yang tidak dimiliki Edwig?”
Ratu Anba mendudukkan Edmund di pangkuannya. Meski tahu anak itu akan berontak mengatakan kalau ia sudah besar, wanita itu tetap melakukannya. Mendekap anak lelakinya erat-erat. “Coba kita lihat ... selain otak emasmu, juga ketampananmu, apa lagi keunggulan luar biasa yang kau punya ....”
Sang ratu menerawang serius, juga membuat Edmund menyimak penasaran. Sedetik kemudian, wanita itu mencolek hidung lancip anaknya dengan gemas. “Oh iya ... kau adalah seorang adik.”
Saking kebingungannya, Edmund sampai tidak kepikiran menepis cubitan sang ibu. “Menjadi adik adalah keunggulan?”
“Bukan hanya itu, menjadi adik juga keistimewaan dan keberuntungan, sebab sebesar apa pun masalah, kau selalu tahu bahwa ada seseorang yang siap berdiri di sampingmu. Sejauh apa pun kau pergi, kau selalu punya tempat untuk pulang.” Ratu Anba menjelaskan. “Seorang kakak rela berkorban demi membela adiknya, memastikan sang adik nyaman serta aman sebelum dirinya sendiri. Itulah keunggulanmu yang tidak dimiliki Wiggy sampai kapan pun.”
“Memangnya Edwig akan melakukan itu semua demi aku?”
“Pasti, dia pasti melakukan semua itu demi kau, Sayang. Dia begitu mencintaimu.” Wanita itu menguatkan rangkulannya. “Maka sebagai tanda terima kasih, kau lakukanlah hal serupa kepada Wiggy. Dengan begitu kalian akan selalu hidup rukun, seperti seharusnya kakak beradik.”
Edmund ingat saat itu ia tidak membalas, dan langsung pergi ketika pengawal menjemput ke arena latihan. Bocah itu mengerti betul setiap kalimat dari sang ibu, tapi dia tidak puas, dan masih terus mencoba untuk mengungguli sang kakak dalam usia. Terbukti, usaha kerasnya berhasil. Secara teknis Edmund menjadi lebih tua dari Edwig dan akhirnya menjadi Raja Selatan. Meskipun itu mengorbankan banyak hal, termasuk juga Ibu dan Ayah tercinta, menghancurkan negeri besar yang juga rumah tempatnya pulang. Tapi dia tetap berhasil.
“Lantas apa yang kumenangkan?” gumam Edmund dibalas suara bara api membakar kayu dari dalam tungku.
Edmund tidak pernah sekali pun merasa bahagia setelah segala keinginannya terkabul, sebaliknya ia merasa semakin tersesat. Namun, ego mengalahkan nurani. Ini yang dia mau, dan inilah yang dia dapatkan. Semua sepadan dan ia harus berusaha merasa puas. Akhirnya ego bertahan seratus tahun, menunda dongeng yang seharusnya memiliki akhir bahagia sekian lama. Manik biru itu kembali menjelajah ruangan yang sunyi, sebagaimana yang selalu ia inginkan selama ini. Setidaknya begitu sebelum sebutir air menetes jatuh di dagunya.
***
“Tuan, kami ingin tinggal di Istana!”
“Kami sudah bekerja berbulan-bulan, dan belum sempat menikmatinya!”
“Kenapa bukan Edmund saja yang pergi!”
“Kita berhak tinggal di sana!”
Keluhan demi keluhan datang dari para Elf semenjak mereka kembali ke Wilayah Utara. Selama itu juga Wiggy berusaha menulikan telinga, tapi semakin lama makhluk-makhluk kerdil itu membuat kepalanya hendak pecah juga. Mereka mengeluh saat memasak, saat menyiapkan meja, saat makan. Ini sudah dekat jam tidur, dan mereka belum lelah menuntut untuk kembali ke Istana Selatan.
“Toddy, suruh teman-temanmu tutup mulut!” bentak Wiggy dengan mata melotot yang spontan membuat semua mulut Elf tertutup rapat. “Aku bersumpah kalau pohon Noby sudah berbuah, kau yang selanjutnya kutanam!”
“Kalian tahu apa yang membuat kita diusir dari istana? Karena kita tidak punya tata krama, dan aku bersumpah akan lebih mudah mengajari para Cylop daripada kalian! Dasar bebal!” Wiggy belum selesai. “Kalau saja kalian bisa tenang sedikit, biasakan untuk izin atau setidaknya mengetuk pintu sebelum masuk ruangan, bicara pelan-pelan, tentunya kita tidak akan di sini sekarang!”
Tidak ada yang berani menanggapi omelan itu. Semua kepala Elf tertunduk sendu, menyadari kesalahan mereka. “Maafkan kami, Tuan ....” Toddy mewakili teman-temannya.
Pemuda itu mengacak rambut ikalnya. “Pergilah kalian! Kerjakan sesuatu atau lakukan apa pun, asal menghilang dari hadapanku!”
“Tapi, Tuan ....” Toddy melangkah maju.
“SEKARANG!”
Para Elf berlarian panik keluar dari ruang makan, yang sedang membereskan peralatan pun meletakkan kembali piringnya demi kabur. Wiggy mengusap wajah dengan kedua tangan, sekarang ia tahu alasan mengapa Phillip, Louise, bahkan Edmund tidak pernah tahan dan selalu marah-marah jika berada di dekatnya. Pasti karena dia memang menyebalkan, persis Falsies Utara.
Pemuda itu sudah pernah mengajarkan para Elf tentang tata krama dan kedisiplinan, tapi makhluk kerdil itu tidak pernah serius menanggapi. Bahkan, beberapa malah mengejek atau tertawa, seolah melakukan tata krama hanya untuk orang-orang dungu. Jika sudah begini, hanya satu orang yang bisa dimintai bantuan, pastinya seseorang yang suka rela dan penyabar. Wiggy mengambil kertas dan pena, lalu mulai menulis.
Untuk Lillian,
Hi, Lilly ... aku tahu ini mendadak dan kau mungkin sedang sibuk, tapi aku sangat butuh bantuanmu untuk mengajariku juga para Elf tentang tata krama. Kelakuan mereka benar-benar buruk sampai kami diusir Edmund dari Kerajaan Selatan. Yah ... rasanya kami pantas mendapatkan itu. Aku memutuskan untuk menurut saja, membiarkan Edmund menenangkan diri sejenak. Meskipun aku takut juga sesuatu terjadi padanya, dia tidak pernah bisa mengurus segala hal sendiri.
Aku akan menjemputmu besok, Lilly. Jangan lupa membawa semua pesonamu. Oh, kau selalu membawanya ya, ha-ha-ha. Nanti akan kusuruh para Elf membuat perkedel keju kesukaanmu. Kau bebas makan sebanyak apa pun. Ya, aku memang sedang merayumu. Pokoknya, besok aku datang. Tunggu aku ya ....
“Toddy!”
Satu Elf kurus dengan baju kedodran serta rambut gondrong segera berdiri di samping Wiggy. “Ya, Tuan?”
“Antar surat ini ke Lillian ....”
Elf itu menggaruk kepala. “Lillian?”
Wiggy menghela napas frustasi. “Nyonya Lilly!”
Wajah Elf itu langsung berbinar-binar. Memang selalu begitu ekspresi para Elf setiap kali nama Lillian disebut. “Nyonya Lilly! Baik, Tuan, jangan khawatir. Aku akan melaksanakan tugas ini dengan cepat dan sigap. Aku akan langusng pulang, tidak mengobrol dengan Nyonya Lilly, atau mendengarkan dongeng Nyonya Lilly, atau makan kue sus super enak buatan Nyonya Lilly, atau ....”
“CEPAT PERGI!!!”
Begitu Toddy berjingkrak lari keluar ruangan, pemuda itu memijat kening, semakin menyadari tindakan Edmund kepadanya selama ini masuk akal. Pemuda itu bangkit dari meja panjang, lantas pergi ke kamar untuk tidur. Wiggy tidak menyangka diusir bisa terasa selelah ini. Beberapa detik membaringkan diri, pemuda itu teringat belum menggosok gigi. Kedisiplinan dan tata krama dimulai dari hal-hal sepele, dan ia harus memulai kebiasaan baik tersebut sebelum menerapkannya kepada para Elf. Wiggy pun bangkit lagi dan menggosok gigi selama hampir lima menit, berpikir bahwa ia bisa membayar hutang-hutang tidak sikat giginya di masa lampau dengan menyikat gigi selama mungkin.
Tiba-tiba, terdengar keributan dari luar. Para Elf seperti ketakutan, tapi juga kesal. Mereka mulai melontarkan sumpah serapah bersamaan sehingga Wiggy tidak bisa memahaminya. Dia memutuskan untuk tidak peduli, para Elf memang suka begitu terutama kalau ada serbuam kodok. Biasanya, Wiggy memang mengomeli mereka, tapi rasanya sekarang ia terlalu lelah untuk itu. Namun, suara gerutuan justru semakin kencang bahkan seolah membuntutinya ke kamar. Sekali lagi, Wiggy berusaha tak mengacuhkan dan memilih tidur berbalik menghadap tembok. Sampai sebuah sosok berdiri di pintu hingga bayangannya menutupi cahaya lentera.
“Keterlaluan! Kalian tahu kita diusir Edmund karena sikap kurang ajar kalian yang seperti ini! Masuk ruangan seorang Pemimpin tanpa izin ....” Wiggy berbalik siap menyembur siapa pun Elf yang ada di sana, tapi sosok di hadapannya kini malah membuat pemuda itu tertegun.
Dia adalah Edmund. Terlihat sederhana tanpa seragam mewah, tanpa jubah besar, tanpa mahkota atau tongkat kebangsaan. Wajahnya datar, begitu pun sorot matanya. Pria itu mengambil langkah mendekat.
“Jadi kau akhirnya menyadari kebodohan Elf-elf kebanggaanmu itu.”
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Wiggy, kaget bercampur senang tapi juga kesal. Begitu banyak perasaan yang dibendung tubuhnya saat ini.
Edmund mengangkat bahu sekilas. “Aku tidak bisa tidur.”
Mendengar jawaban polos itu dari Edmund padahal ekspresinya datar, Wiggy langsung tertawa terbahak-bahak. “Seorang Raja dari Selatan tidak bisa tidur sendirian? Apa kau takut, Yang Mulia?”
“Tidak!” bentak Edmund segera, mengusap ujung hidung sekilas. “Hanya saja ... tidak ada yang bisa kusuruh-suruh.”
Baik Wiggy maupun Edmund sadar betul kalau alasan itu sangat kentara dibuat-buat. Akan tetapi, tidak ada yang mau menyinggungnya saat ini. Senyum Wiggy menjadi lebih tulus saat ia merangkul sang adik.
“Tahu saja kalau para Elf gatal-gatal jika tidak disuruh barang semenit. Silakan masuk, kau bebas memilih ranjang yang mana.”
“Aku di atas!” sambar Edmund.
“Ya, aku sudah tahu!” Wiggy berbaring di ranjangnya sementara Edmund memanjat di ranjang tingkat persis di atas ranjang Wiggy. “Kalau butuh sesuatu teriak saja pada para Elf.”
Edmund mengangguk, padahal tidak ada yang bisa melihatnya.
“Bagaimana Kursak?” tanya Wiggy, mengingat kuda abu-abu itu selalu bersikap kasar kepada para Elf.
“Dia sudah diamankan dalam kandang.”
“Baguslah ... kau butuh selimut?”
“Tidak, di sini terlalu hangat untuk selimut.”
Keduanya terdiam, meskipun belum ada mata yang tertutup. Kerumunan riuh-rendah terdengar dari luar, suara para Elf yang masih giat bekerja. Kukuk burung hantu terdengar, menyatu dengan jangkrik dan kodok. Berisik, tapi menenangkan di telinga Edmund, tidak pernah telinganya merasakan hal seperti ini di istana selatan. Pemuda itu memiringkan badan, menikmati kehangatan dari kulit rusa yang menjadi alas tidurnya.
“Edwig.”
Panggilan tiba-tiba itu sontak membuat Wiggy melebarkan mata. “Ya?”
“Aku sudah berhasil membuktikan bahwa aku selalu lebih unggul darimu, termasuk hal yang mustahil seperti usia. Buktinya aku lebih tua darimu sekarang ‘kan?”
“Ya, Edmund ... kau memang yang terbaik,” balas Wiggy ogah-ogahan. Namun, Edmund belum selesai dengan kalimatnnya.
“Tapi ada satu lagi keunggulanmu yang benar-benar mustahil aku tandingi ....”
Wiggy diam menunggu kelanjutan.
“Kau adalah seorang kakak.”
Dengan berakhirnya kalimat itu, juga senyum dari kedua pangeran, kesunyian pun kembali mendominasi. Riuh rendah para Elf masih terdengar dan akan selalu terdengar, tapi tidak ada lagi keluhan dari mulut siapa pun sampai fajar menyingsing.
Untuk Lillian,
Hi, Lilly ... aku tahu ini mendadak dan kau mungkin sedang sibuk, tapi aku sangat butuh bantuanmu untuk mengajariku juga para Elf tentang tata krama. Kelakuan mereka benar-benar buruk sampai kami diusir Edmund dari Kerajaan Selatan. Yah ... rasanya kami pantas mendapatkan itu. Aku memutuskan untuk menurut saja, membiarkan Edmund menenangkan diri sejenak. Meskipun aku takut juga sesuatu terjadi padanya, dia tidak pernah bisa mengurus segala hal sendiri.
Aku akan menjemputmu besok, Lilly. Jangan lupa membawa semua pesonamu. Oh, kau selalu membawanya ya, ha-ha-ha. Nanti akan kusuruh para Elf membuat perkedel keju kesukaanmu. Kau bebas makan sebanyak apa pun. Ya, aku memang sedang merayumu. Pokoknya, besok aku datang. Tunggu aku ya ....
Penuh cinta,
Wiggy yang tampan.
“Toddy!”
Satu Elf kurus dengan baju kedodran serta rambut gondrong segera berdiri di samping Wiggy. “Ya, Tuan?”
“Antar surat ini ke Lillian ....”
Elf itu menggaruk kepala. “Lillian?”
Wiggy menghela napas frustasi. “Nyonya Lilly!”
Wajah Elf itu langsung berbinar-binar. Memang selalu begitu ekspresi para Elf setiap kali nama Lillian disebut. “Nyonya Lilly! Baik, Tuan, jangan khawatir. Aku akan melaksanakan tugas ini dengan cepat dan sigap. Aku akan langusng pulang, tidak mengobrol dengan Nyonya Lilly, atau mendengarkan dongeng Nyonya Lilly, atau makan kue sus super enak buatan Nyonya Lilly, atau ....”
“CEPAT PERGI!!!”
Begitu Toddy berjingkrak lari keluar ruangan, pemuda itu memijat kening, semakin menyadari tindakan Edmund kepadanya selama ini masuk akal. Pemuda itu bangkit dari meja panjang, lantas pergi ke kamar untuk tidur. Wiggy tidak menyangka diusir bisa terasa selelah ini. Beberapa detik membaringkan diri, pemuda itu teringat belum menggosok gigi. Kedisiplinan dan tata krama dimulai dari hal-hal sepele, dan ia harus memulai kebiasaan baik tersebut sebelum menerapkannya kepada para Elf. Wiggy pun bangkit lagi dan menggosok gigi selama hampir lima menit, berpikir bahwa ia bisa membayar hutang-hutang tidak sikat giginya di masa lampau dengan menyikat gigi selama mungkin.
Tiba-tiba, terdengar keributan dari luar. Para Elf seperti ketakutan, tapi juga kesal. Mereka mulai melontarkan sumpah serapah bersamaan sehingga Wiggy tidak bisa memahaminya. Dia memutuskan untuk tidak peduli, para Elf memang suka begitu terutama kalau ada serbuam kodok. Biasanya, Wiggy memang mengomeli mereka, tapi rasanya sekarang ia terlalu lelah untuk itu. Namun, suara gerutuan justru semakin kencang bahkan seolah membuntutinya ke kamar. Sekali lagi, Wiggy berusaha tak mengacuhkan dan memilih tidur berbalik menghadap tembok. Sampai sebuah sosok berdiri di pintu hingga bayangannya menutupi cahaya lentera.
“Keterlaluan! Kalian tahu kita diusir Edmund karena sikap kurang ajar kalian yang seperti ini! Masuk ruangan seorang Pemimpin tanpa izin ....” Wiggy berbalik siap menyembur siapa pun Elf yang ada di sana, tapi sosok di hadapannya kini malah membuat pemuda itu tertegun.
Dia adalah Edmund. Terlihat sederhana tanpa seragam mewah, tanpa jubah besar, tanpa mahkota atau tongkat kebangsaan. Wajahnya datar, begitu pun sorot matanya. Pria itu mengambil langkah mendekat.
“Jadi kau akhirnya menyadari kebodohan Elf-elf kebanggaanmu itu.”
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Wiggy, kaget bercampur senang tapi juga kesal. Begitu banyak perasaan yang dibendung tubuhnya saat ini.
Edmund mengangkat bahu sekilas. “Aku tidak bisa tidur.”
Mendengar jawaban polos itu dari Edmund padahal ekspresinya datar, Wiggy langsung tertawa terbahak-bahak. “Seorang Raja dari Selatan tidak bisa tidur sendirian? Apa kau takut, Yang Mulia?”
“Tidak!” bentak Edmund segera, mengusap ujung hidung sekilas. “Hanya saja ... tidak ada yang bisa kusuruh-suruh.”
Baik Wiggy maupun Edmund sadar betul kalau alasan itu sangat kentara dibuat-buat. Akan tetapi, tidak ada yang mau menyinggungnya saat ini. Senyum Wiggy menjadi lebih tulus saat ia merangkul sang adik.
“Tahu saja kalau para Elf gatal-gatal jika tidak disuruh barang semenit. Silakan masuk, kau bebas memilih ranjang yang mana.”
“Aku di atas!” sambar Edmund.
“Ya, aku sudah tahu!” Wiggy berbaring di ranjangnya sementara Edmund memanjat di ranjang tingkat persis di atas ranjang Wiggy. “Kalau butuh sesuatu teriak saja pada para Elf.”
Edmund mengangguk, padahal tidak ada yang bisa melihatnya.
“Bagaimana Kursak?” tanya Wiggy, mengingat kuda abu-abu itu selalu bersikap kasar kepada para Elf.
“Dia sudah diamankan dalam kandang.”
“Baguslah ... kau butuh selimut?”
“Tidak, di sini terlalu hangat untuk selimut.”
Keduanya terdiam, meskipun belum ada mata yang tertutup. Kerumunan riuh-rendah terdengar dari luar, suara para Elf yang masih giat bekerja. Kukuk burung hantu terdengar, menyatu dengan jangkrik dan kodok. Berisik, tapi menenangkan di telinga Edmund, tidak pernah telinganya merasakan hal seperti ini di istana selatan. Pemuda itu memiringkan badan, menikmati kehangatan dari kulit rusa yang menjadi alas tidurnya.
“Edwig.”
Panggilan tiba-tiba itu sontak membuat Wiggy melebarkan mata. “Ya?”
“Aku sudah berhasil membuktikan bahwa aku selalu lebih unggul darimu, termasuk hal yang mustahil seperti usia. Buktinya aku lebih tua darimu sekarang ‘kan?”
“Ya, Edmund ... kau memang yang terbaik,” balas Wiggy ogah-ogahan. Namun, Edmund belum selesai dengan kalimatnnya.
“Tapi ada satu lagi keunggulanmu yang benar-benar mustahil aku tandingi ....”
Wiggy diam menunggu kelanjutan.
“Kau adalah seorang kakak.”
Dengan berakhirnya kalimat itu, juga senyum dari kedua pangeran, kesunyian pun kembali mendominasi. Riuh rendah para Elf masih terdengar dan akan selalu terdengar, tapi tidak ada lagi keluhan dari mulut siapa pun sampai fajar menyingsing.
Comments
Post a Comment