Bagaimana Seseorang Menjadi Bidadari
Langkah Louise menggema saat menapaki satu per satu anak tangga sebening kaca. Tak seperti biasa, Sang Lady tidak mengenakan pakaian zirah kebesarannya. Gadis itu mengenakan gaun panjang sederhama berwarna jingga, rambut emasnya tersanggul rapi menyisakan anak rambut di kedua sisi yang membuat wajah cemberutnya terlihar sedikit lebih manis. Tidak mudah membuat seorang Lady Louise dari Silverwall berpenampilan feminim. Tiga puluh menit lalu, Pepa dan keempat Peri asuhan Bidadari Tiffany yang lain harus berjuang keras memakaikan segala hal tersebut pada tubuh Louise yang terus-terusan meronta protes.
“Lebih baik memotong kakiku sendiri daripada harus menggunakan alat penyiksaan itu!” jerit Louise begitu diminta mengenakan sepatu berhak tinggi.
Akhirnya para Peri mengizinkan Louise memakai sepatu bot kain sepanjang betis. Gadis itu juga berkali-kali menghapus pewarna bibir merahnya dengan kasar, lantas menolak mentah-mentah polesan merona di pipi. Satu-satunya benda feminim yang sukarela dikenakan Louise hanyalah kalung berliontin bintang pemberian Sang Bidadari sebelum perang antar kubu Utara dan Selatan pecah. Selain hadiah pertama dari ibunya sendiri, kalung itu akan selalu mengingatkan Louise kepada satu-satunya lelaki yang mengisi hatinya hingga detik ini, dan mungkin selamanya. Tanpa sadar wajahnya menghangat, menimbulkan senyum rindu.
Gadis itu sampai di depan gerbang besar bercorak mahkota berkilauan, mengetuknya beberapa kali dengan irama, lantas pintu terbuka menyemburkan serbuk berkilauan serta wewangian semerbak. Ruangan bernuansa merah muda itu kosong, hanya satu pintu beraksen klasik berdiri tegak di tengah, padahal tidak ada ruangan apa pun di belakangnya. Langsung saja Louise membuka pintu tersebut, menapilkan seorang wanita berusia tiga puluhan tengah duduk di hadapan meja bundar yang mungil.
“Lebih baik memotong kakiku sendiri daripada harus menggunakan alat penyiksaan itu!” jerit Louise begitu diminta mengenakan sepatu berhak tinggi.
Akhirnya para Peri mengizinkan Louise memakai sepatu bot kain sepanjang betis. Gadis itu juga berkali-kali menghapus pewarna bibir merahnya dengan kasar, lantas menolak mentah-mentah polesan merona di pipi. Satu-satunya benda feminim yang sukarela dikenakan Louise hanyalah kalung berliontin bintang pemberian Sang Bidadari sebelum perang antar kubu Utara dan Selatan pecah. Selain hadiah pertama dari ibunya sendiri, kalung itu akan selalu mengingatkan Louise kepada satu-satunya lelaki yang mengisi hatinya hingga detik ini, dan mungkin selamanya. Tanpa sadar wajahnya menghangat, menimbulkan senyum rindu.
Gadis itu sampai di depan gerbang besar bercorak mahkota berkilauan, mengetuknya beberapa kali dengan irama, lantas pintu terbuka menyemburkan serbuk berkilauan serta wewangian semerbak. Ruangan bernuansa merah muda itu kosong, hanya satu pintu beraksen klasik berdiri tegak di tengah, padahal tidak ada ruangan apa pun di belakangnya. Langsung saja Louise membuka pintu tersebut, menapilkan seorang wanita berusia tiga puluhan tengah duduk di hadapan meja bundar yang mungil.
Di atas meja itu ada teko putih serta dua cangkir berbentuk kelopak bunga. Satu bangku mungil lain beraksen hijau dan ungu yang menunggu untuk segera diduduki. Wanita anggun berambut pirang itu menoleh, bibir semerah delima segera menyunggingkan senyum begitu melihat Louise. Dia menghampiri dengan langkah berirama layaknya seorang balerina.
“Lihatlah Lady Silverwall kita yang cantik,” ucapnya dengan suara selembut sutera. Louise merasakan sensasi memantul saat pipi sang bidadari menyalami pipinya. “Seluruh dunia akan mengenalmu dengan kecantikan ini.”
“Aku lebih suka terkenal karena aksi yang luar biasa,” balas Louise yang padahal tidak bermaksud sinis, tapi malah terdengar begitu.
Bidadari Tiffany tertawa, “Oh, Lady, kau sudah jauh lebih lama dikenal karena hal itu. Duduklah, teh tidak akan nikmat jika diminum dingin.”
Louise menurut saja saat sang Bidadari menuntunnya ke meja teh. Begitu bokong mereka sudah menempel di bangku masing-masing, Bidadari Tiffany menuangkan teh berwarna cokelat madu pada cangkir Louise.
“Berapa balok gula?” Wanita itu menyodorkan mangkuk dipenuhi kubus putih kecil.
“Tujuh.”
“Lady, bukankah itu terlalu banyak untukmu ...,” tegur sang Bidadari, meskipun ia tetap memasukkan tujuh kubus ke dalam cangkir. “Yah, orang memang suka yang manis-manis kalau sedang jatuh cinta.”
Ekspresi Louise berubah gugup, tidak menyangka sang Bidadari akan menyinggung hal tak terduga. Ia bahkan tidak tahu cinta itu benar-benar ada sebelum bertemu Phillip, sekarang malah dilemahkan oleh cinta. Ketertarikannya pada segala hal manis akhir-akhir ini belum seberapa. Sang Lady tidak lagi terlalu kejam dalam latihan kesatria, bahkan menambah durasi istirahat. Gadis itu sering melamun terutama malam hari, menatap rembulan sambil terseyum-senyum sendiri. Lady Silverwall seolah kehilangan jati dirinya selama beberapa bulan belakangan. Semua itu hanya karena seorang laki-laki.
Laki-laki yang manis.
Menyadari lamunan Louise, sang Bidadari berdeham hendak membuka percakapan. “Jadi, Lady. Bagaimana kondisi di bawah sana? Selama ini yang kuterima hanya untaian katamu yang indah dan bijaksana, sekarang aku ingin mendengarnya langsung.”
“Para kesatria ... mereka luar biasa seperti seharusnya,” jelas Louise. Entah apa yang membuatnya terbata-bata. Ini pertama kali ia dan Bidadari Tiffany duduk berhadapan, berinteraksi santai secara langsung.
“Dan ... apakah kalian akan menjalankan sebuah misi baru?”
“Belum, belum ada apa pun.”
Sang Bidadari tersenyum, bukannya tidak mengerti isi hati Lady Silverwall, tapi berusaha memaklumi. Bahkan Sang Bidadari pun akan heran melihat seorang Lady Silverwall kehabisan kata, tidak berapi-api, seolah tidak berambisi dengan aksi yang selama ini menjadi kesukaannya. Wanita itu menyentuh tangan Louise, menyebarkan kehangatan juga ketenangan yang sangat Louise butuhkan.
“Kau mau tahu bagaimana seseorang menjadi Bidadari?”
Louise menatap balik Bidadari Tiffany dengan wajah penasaran sekaligus heran. Ia tidak pernah kepikiran akan hal itu, tapi ketika disinggung, ternyata memang fakta itu yang paling ingin Louise ketahui seumur hidupnya.
“Bagaimana seseornag bisa menjadi Bidadari?” Louise bertanya balik. Membuat Bidadari Tiffany menarik napas untuk memulai kisah mengaggumkan.
“Pertama, jika manusia terlahir tanpa cinta dan darah, maka dia akan menjadi istimewa.”
“Manusia yang lahir tanpa cinta dan darah?”
“Benar ... Dan kita adalah salah satunya, Lady.”
Kelopak mata Louise melebar seketika, “Kita?”
“Ya ... aku terlahir dari Mutiara merah muda dan secangkir keajaiban. Aku tidak memiliki ibu ataupun ayah. Suatu hari kelopak mataku terbuka dan tujuan hidupku sudah ada di sana.” Sang Bidadari tersenyum kecil, menatap langit-langit berhias lampu kristal. “Aku tumbuh dalam asuhan para peri, mempelajari segala hal tentang mereka. Masa kecilku penuh keajaiban.”
“Kisahmu sangat indah dan aku rasa seluruh manusia di dunia mengetahuinya,” balas Louise, mulai mendengarkan dengan serius. “Tapi bagaimana denganku? Jadi ... aku juga terlahir tanpa cinta dan darah?”
Tiffany tersenyum lebih lebar. “Itu membawa kita ke alasan kedua, yaitu seorang Bidadari harus bersikap adil. Lain dari Ibu Peri atau Jin di dalam botol yang bisa mengabulkan permintaan orang-orang tertentu. Tugas Bidadari lebih dari itu sehingga pilih kasih adalah sifat pantang bagi kami. Maka itulah yang kulakukan, bersikap adil kepada siapa pun.”
Wanita itu menyeruput tehnya sejenak, dan Louise latah ikut menyesap teh. “Namun, suatu hari segala keindahan Kota Silverwall menjadi semu di mataku, warna-warni di jalan setapak menjadi kelabu, gemericing zirah para kesatria tak lagi mengaggumkan. Bahkan kedatangan burung-burung Biblue tidak membuat hatiku riang. Saat itu aku sadar bahwa aku kesepian. Maka aku memutuskan untuk melahirkan-mu, Lady.”
Sang Bidadari tiba-tiba bangkit, berputar anggun ke arah jendela dan memandang jauh ke depan. Senyumnya melebar seolah tengah menerawang sesuatu yang paling indah dari masa lampau. “Hari itu musim gugur saat aku turun ke dunia bawah, musim kesukaanku. Dunia berubah oranye, dan aku mengambil daun mapel paling sempurna, burung pelatuk memberikan sepotong batang jati mengkilap paling kuat, tupai memberiku sebutir biji oak dari simpanan hibernasi mereka. Oh, hewan-hewan terpuji itu. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan hati mereka.”
“Di perjalanan pulang ke Silverwall aku bertemu Pheonix muda bernama Tyron. Dia begitu murah hati memberiku sehelai kecil bulu di belakang sayapnya. Itu hanya sehelai bulu tapi cukup menimbulkan efek luar biasa. Maka dengan semua bahan-bahan itu, seorang Lady Silverwall lahir dengan begitu indahnya.”
Bibir Louise tertarik ke atas begitu saja, menyadari bahwa kisah kelahirannya memanglah sesuatu yang selama ini ingin ia dengar lebih dari apa pun. Gadis itu ikut bangkit dan berdiri di sebelah sang bidadari. Keduanya bertatapan sejenak, melempar sorot kasih sayang.
“Lady, kau terlahir di musim panas, itu sebabnya semangatmu begitu berapi-api. Biji oak dan potongan kayu jati membuat jiwa dan ragamu kuat. Sehelai bulu Phoenix menjadikanmu pemberani nan bijaksana. Tapi tentu saja, hal yang paling kusukai darimu adalah rambut oranye keemasanmu yang selalu ampuh membuat siapa pun berdecak kagum.” Sang Bidadari membelai rambut Louise perlahan, dengan senyum haru serta mata berkaca-kaca.
“Kau tumbuh menjadi kebanggaan Negeri, menjadi dirimu yang terbaik. Dan semenjak kehadiranmu, seluruh warna-warni di dunia kembali. Silverwall bahkan menjadi tempat yang jauh lebih indah dari sebelumnya.”
“Aku ... masih tidak mengerti kenapa kita membahas ini,” tutur Louise setelah diam beberapa saat.
“Alasan kita membahas ini?” Sang bidadari menuntun Louise untuk kembali duduk. “Tentu saja untuk masa depanmu, Lady.”
“Apa maksudnya?”
“Semua Bidadari berasal dari orang-orang istimewa, tapi tidak semua orang istimewa bisa menjadi bidadari, karena menjadi Bidadari adalah sebuah pilihan,” jelas Tiffany, sorot matanya selalu berubah tajam setiap membicarakan hal-hal serius. “Oh, Lady, kau tidak tahu betapa aku ingin membacakanmu dongeng sebelum tidur setiap malam, menimang-nimang tubuhmu saat bayi, menumpahkan segala cinta-kasih untukmu. Tapi itu sesuatu yang nyaris mustahil. Aku sudah membuat pilihan, meskipun itu membuatku menjadi ibu terburuk yang seolah tidak pernah mencintai anaknya.”
Bidadari Tiffany menggenggam kedua tangan Louise tanpa berpaling darinya, meminta gadis itu untuk mendengarkan. “Risiko dan tanggung jawab harus diemban jika pilihan sudah dibuat. Sekali saja pantangan itu dilakukan, gelar sebagai bidadari harus runtuh meninggalkan negeri asuhannya porak-poranda.”
“Jadi ... itu sebabnya kita tidak pernah bersama selain untuk tugas?” terka Louise setengah sendu. “Itu alasan mengapa aku tumbuh di antara para kesatria.”
Tiffany mengangguk takzim. “Lady, kau mungkin tidak lahir dengan cinta, tapi kau tumbuh dengan cinta. Dan kau memiliki cinta di dalam dirimu. Oh, aku tahu persis seberapa besar cinta itu saat ini.” Sang Bidadari melempar senyum menggoda.
“Maksudmu, ada orang-orang istimewa yang tidak ingin menjadi bidadari?” tanya Louise, berusaha mengalihkan segala pembicaraan tentang cinta.
“Tentu saja, Lady. Ellinor dari Dongeng Putri Teratai dan Penyihir Buruk Rupa adalah salah satunya.”
Louise terbelalak, baru menyadari bahwa ibu Phillip dan Lillian juga lahir tanpa cinta dan darah. Lebih buruk, dia dilahirkan oleh seorang penyihir seperti Miranda. “Itu artinya ibu Phillip dan Lillian seorang bidadari?”
“Seharusnya begitu, tapi seperti dirimu, Lady. Dia memiliki cinta yang begitu besar di dalam dirinya. Bagi Ellinor, keluarga adalah yang paling utama sehingga tidak mungkin lagi dirinya bisa bersikap adil. Apa pun yang terjadi, dia akan selalu mementingkan serta mendahulukan keluarganya.”
“Bukankah itu tindakan terpuji?” tanya Louise ragu.
“Itu lebih cocok disebut egois.” Tiffany menjawab dengan sabar, “seperti yang pernah kukatakan. Membantu segelintir orang padahal ada ribuan orang di seluruh semesta yang juga membutuhkan bantuan. Mereka akan merasa terasing, bukan?”
Louise tak lagi menjawab karena semua itu masuk akal. Permohonan tulus bisa datang dari mana saja. Tidak peduli apa latar belakang mereka, seorang raja atau petani, putri atau penyihir, jahat atau baik. Akan tetapi, permohonan siapa yang harus dikabulkan masih terlalu semu, dan hanya mengabulkan beberapa permohonan akan terdengar sangat egois. Padahal semua permohonan pasti berdasarkan ketulusan serta kemauan kuat. Di sisi lain Tiffany kembali menuang teh di kedua cangkir yang hampir habis, menyesapnya sedikit lalu menarik napas dalam.
“Lady, kau mungkin masih bingung kenapa kita membahas semua hal ini secara tiba-tiba.” Sang Bidadari melanjutkan ketika Louise menatapnya. “Kau tahu, suatu saat nanti pilihan itu akan menghampirimu. Menjadi adil atau egois, tidak ada dari dua pilihan itu yang berdampak buruk, tapi keduanya memiliki tanggung jawab besar.”
Manik toska Tiffany menyorot dalam pada iris amber milik Louise. “Dongeng baru akan segera lahir, dan saat hari itu tiba kau sebaiknya sudah menentukan pilihan. Aku mohon, Lady. Apa pun pilihanmu, haruslah yang paling membuatmu bahagia.”
“Menjadi adil atau egois ....”
Sebuah senyum lebar terukir di bibir Louise. Gadis itu sudah tahu harus memilih yang mana, dan ketika dongeng baru lahir, ia sudah sangat siap menghadapinya.
“Lillian, kau sudah bangun?”
Suara familiar itu terdengar samar di telinga, pemandangan sekitar pun masih buram seolah sedang berada di dalam air. Begitu penglihatannya membaik, wajah Phillip-lah yang pertama kali terlihat, dan Lillian langsung merengut kecewa.
“Ah, ternyata cuma Phillip. Padahal aku mengharapkan pangeran tampan,” keluhnya, sebelum tertawa karena ekspresi sang kakak berubah cemberut.
“Memangnya ini dongeng Putri Tidur!” Phillip berjalan ke lemarinya dan mulai mengambil barnag-barang. “Tidak biasanya kau tidur selama ini, Lill. Semalam kau tidur larut?”
Phillip memang selalu tidur lebih awal belakangan ini, sebab pemuda enam belas tahun itu ikut sang ayah ke Kota Briston untuk ikut kursus akademis, lantas berkerja sejenak di Pertanian Navis untuk menambah uang saku. Sedangkan Lillian lebih suka belajar di rumah, dan Phillip tidak pernah absen meminjamkan buku-buku bagus dari perpustakaan untuk sang adik. Sebelum menjawab pertanyaan kakaknya, Lillian menarik lengan pemuda itu supaya mereka bisa duduk berdua di atas ranjang.
“Apa yang kau lakukan, Lill. Aku harus pergi ke pertanian Navis,” protes Phillip, meksipun ia tidak mungkin bisa menolak.
“Sebentar, Phill. Semalam aku mendapatkan mimpi yang sangat indah.” Lillian merendahkan suara, saat Phillip mencondongkan badan. “Aku rasa Bidadari Tiffany mendatangiku lewat mimpi untuk memberitahu bagaimana seseorang menjadi Bidadari.”
Pemuda itu berjengit. “Mustahil, gerbang Silverwall sudah tertutup!”
“Tiffany bilang, dongeng baru akan segera lahir. Saat hari itu tiba, seseorang yang istimewa harus membuat pilihan,” tambah Lillian yang membuat alis kakaknya semakin bertaut.
“Bidadari Tiffany mengatakan itu semua padamu?”
Gadis itu menggeleng. “Aku hanya menonton Bidadari Tiffany sedang mengobrol dengan seseorang yang spesial tersebut, dan ....” Manik hijau itu menatap serius. “Aku rasa orang spesial itu adalah Louise.”
Mendengar nama itu, Phillip tertegun sendu. “Dia tidak pernah mendatangiku di dalam mimpi ....” Pemuda itu tidak mengatakannya, tapi ia selalu mengharapkan hal itu terjadi. Louise mengunjunginya barang sejenak, meskipun itu hanya di dalam mimpi.
Lillian merangkul kakaknya erat-erat. “Phill ... supaya bisa menjadi bidadari, orang spesial ini harus memilih antara menjadi adil atau egois, dan rasanya aku tahu apa yang akan dipilih Louise.”
“Kau tahu?”
“Yah, aku hanya menebak-nebak.” Lillian mengatakan itu dengan malu-malu, tapi semua orang tahu bahwa ‘menebak-nebak’ versi Lillian berarti 95 persen benar. Gadis itu berbisik. “Aku rasa dia akan memilih untuk menjadi egois.”
Phillip menoleh cepat kepada sang adik yang senyumnya secerah matahari.
“Karena dia sedang mencintai seseorang.”
“Lihatlah Lady Silverwall kita yang cantik,” ucapnya dengan suara selembut sutera. Louise merasakan sensasi memantul saat pipi sang bidadari menyalami pipinya. “Seluruh dunia akan mengenalmu dengan kecantikan ini.”
“Aku lebih suka terkenal karena aksi yang luar biasa,” balas Louise yang padahal tidak bermaksud sinis, tapi malah terdengar begitu.
Bidadari Tiffany tertawa, “Oh, Lady, kau sudah jauh lebih lama dikenal karena hal itu. Duduklah, teh tidak akan nikmat jika diminum dingin.”
Louise menurut saja saat sang Bidadari menuntunnya ke meja teh. Begitu bokong mereka sudah menempel di bangku masing-masing, Bidadari Tiffany menuangkan teh berwarna cokelat madu pada cangkir Louise.
“Berapa balok gula?” Wanita itu menyodorkan mangkuk dipenuhi kubus putih kecil.
“Tujuh.”
“Lady, bukankah itu terlalu banyak untukmu ...,” tegur sang Bidadari, meskipun ia tetap memasukkan tujuh kubus ke dalam cangkir. “Yah, orang memang suka yang manis-manis kalau sedang jatuh cinta.”
Ekspresi Louise berubah gugup, tidak menyangka sang Bidadari akan menyinggung hal tak terduga. Ia bahkan tidak tahu cinta itu benar-benar ada sebelum bertemu Phillip, sekarang malah dilemahkan oleh cinta. Ketertarikannya pada segala hal manis akhir-akhir ini belum seberapa. Sang Lady tidak lagi terlalu kejam dalam latihan kesatria, bahkan menambah durasi istirahat. Gadis itu sering melamun terutama malam hari, menatap rembulan sambil terseyum-senyum sendiri. Lady Silverwall seolah kehilangan jati dirinya selama beberapa bulan belakangan. Semua itu hanya karena seorang laki-laki.
Laki-laki yang manis.
Menyadari lamunan Louise, sang Bidadari berdeham hendak membuka percakapan. “Jadi, Lady. Bagaimana kondisi di bawah sana? Selama ini yang kuterima hanya untaian katamu yang indah dan bijaksana, sekarang aku ingin mendengarnya langsung.”
“Para kesatria ... mereka luar biasa seperti seharusnya,” jelas Louise. Entah apa yang membuatnya terbata-bata. Ini pertama kali ia dan Bidadari Tiffany duduk berhadapan, berinteraksi santai secara langsung.
“Dan ... apakah kalian akan menjalankan sebuah misi baru?”
“Belum, belum ada apa pun.”
Sang Bidadari tersenyum, bukannya tidak mengerti isi hati Lady Silverwall, tapi berusaha memaklumi. Bahkan Sang Bidadari pun akan heran melihat seorang Lady Silverwall kehabisan kata, tidak berapi-api, seolah tidak berambisi dengan aksi yang selama ini menjadi kesukaannya. Wanita itu menyentuh tangan Louise, menyebarkan kehangatan juga ketenangan yang sangat Louise butuhkan.
“Kau mau tahu bagaimana seseorang menjadi Bidadari?”
Louise menatap balik Bidadari Tiffany dengan wajah penasaran sekaligus heran. Ia tidak pernah kepikiran akan hal itu, tapi ketika disinggung, ternyata memang fakta itu yang paling ingin Louise ketahui seumur hidupnya.
“Bagaimana seseornag bisa menjadi Bidadari?” Louise bertanya balik. Membuat Bidadari Tiffany menarik napas untuk memulai kisah mengaggumkan.
“Pertama, jika manusia terlahir tanpa cinta dan darah, maka dia akan menjadi istimewa.”
“Manusia yang lahir tanpa cinta dan darah?”
“Benar ... Dan kita adalah salah satunya, Lady.”
Kelopak mata Louise melebar seketika, “Kita?”
“Ya ... aku terlahir dari Mutiara merah muda dan secangkir keajaiban. Aku tidak memiliki ibu ataupun ayah. Suatu hari kelopak mataku terbuka dan tujuan hidupku sudah ada di sana.” Sang Bidadari tersenyum kecil, menatap langit-langit berhias lampu kristal. “Aku tumbuh dalam asuhan para peri, mempelajari segala hal tentang mereka. Masa kecilku penuh keajaiban.”
“Kisahmu sangat indah dan aku rasa seluruh manusia di dunia mengetahuinya,” balas Louise, mulai mendengarkan dengan serius. “Tapi bagaimana denganku? Jadi ... aku juga terlahir tanpa cinta dan darah?”
Tiffany tersenyum lebih lebar. “Itu membawa kita ke alasan kedua, yaitu seorang Bidadari harus bersikap adil. Lain dari Ibu Peri atau Jin di dalam botol yang bisa mengabulkan permintaan orang-orang tertentu. Tugas Bidadari lebih dari itu sehingga pilih kasih adalah sifat pantang bagi kami. Maka itulah yang kulakukan, bersikap adil kepada siapa pun.”
Wanita itu menyeruput tehnya sejenak, dan Louise latah ikut menyesap teh. “Namun, suatu hari segala keindahan Kota Silverwall menjadi semu di mataku, warna-warni di jalan setapak menjadi kelabu, gemericing zirah para kesatria tak lagi mengaggumkan. Bahkan kedatangan burung-burung Biblue tidak membuat hatiku riang. Saat itu aku sadar bahwa aku kesepian. Maka aku memutuskan untuk melahirkan-mu, Lady.”
Sang Bidadari tiba-tiba bangkit, berputar anggun ke arah jendela dan memandang jauh ke depan. Senyumnya melebar seolah tengah menerawang sesuatu yang paling indah dari masa lampau. “Hari itu musim gugur saat aku turun ke dunia bawah, musim kesukaanku. Dunia berubah oranye, dan aku mengambil daun mapel paling sempurna, burung pelatuk memberikan sepotong batang jati mengkilap paling kuat, tupai memberiku sebutir biji oak dari simpanan hibernasi mereka. Oh, hewan-hewan terpuji itu. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan hati mereka.”
“Di perjalanan pulang ke Silverwall aku bertemu Pheonix muda bernama Tyron. Dia begitu murah hati memberiku sehelai kecil bulu di belakang sayapnya. Itu hanya sehelai bulu tapi cukup menimbulkan efek luar biasa. Maka dengan semua bahan-bahan itu, seorang Lady Silverwall lahir dengan begitu indahnya.”
Bibir Louise tertarik ke atas begitu saja, menyadari bahwa kisah kelahirannya memanglah sesuatu yang selama ini ingin ia dengar lebih dari apa pun. Gadis itu ikut bangkit dan berdiri di sebelah sang bidadari. Keduanya bertatapan sejenak, melempar sorot kasih sayang.
“Lady, kau terlahir di musim panas, itu sebabnya semangatmu begitu berapi-api. Biji oak dan potongan kayu jati membuat jiwa dan ragamu kuat. Sehelai bulu Phoenix menjadikanmu pemberani nan bijaksana. Tapi tentu saja, hal yang paling kusukai darimu adalah rambut oranye keemasanmu yang selalu ampuh membuat siapa pun berdecak kagum.” Sang Bidadari membelai rambut Louise perlahan, dengan senyum haru serta mata berkaca-kaca.
“Kau tumbuh menjadi kebanggaan Negeri, menjadi dirimu yang terbaik. Dan semenjak kehadiranmu, seluruh warna-warni di dunia kembali. Silverwall bahkan menjadi tempat yang jauh lebih indah dari sebelumnya.”
“Aku ... masih tidak mengerti kenapa kita membahas ini,” tutur Louise setelah diam beberapa saat.
“Alasan kita membahas ini?” Sang bidadari menuntun Louise untuk kembali duduk. “Tentu saja untuk masa depanmu, Lady.”
“Apa maksudnya?”
“Semua Bidadari berasal dari orang-orang istimewa, tapi tidak semua orang istimewa bisa menjadi bidadari, karena menjadi Bidadari adalah sebuah pilihan,” jelas Tiffany, sorot matanya selalu berubah tajam setiap membicarakan hal-hal serius. “Oh, Lady, kau tidak tahu betapa aku ingin membacakanmu dongeng sebelum tidur setiap malam, menimang-nimang tubuhmu saat bayi, menumpahkan segala cinta-kasih untukmu. Tapi itu sesuatu yang nyaris mustahil. Aku sudah membuat pilihan, meskipun itu membuatku menjadi ibu terburuk yang seolah tidak pernah mencintai anaknya.”
Bidadari Tiffany menggenggam kedua tangan Louise tanpa berpaling darinya, meminta gadis itu untuk mendengarkan. “Risiko dan tanggung jawab harus diemban jika pilihan sudah dibuat. Sekali saja pantangan itu dilakukan, gelar sebagai bidadari harus runtuh meninggalkan negeri asuhannya porak-poranda.”
“Jadi ... itu sebabnya kita tidak pernah bersama selain untuk tugas?” terka Louise setengah sendu. “Itu alasan mengapa aku tumbuh di antara para kesatria.”
Tiffany mengangguk takzim. “Lady, kau mungkin tidak lahir dengan cinta, tapi kau tumbuh dengan cinta. Dan kau memiliki cinta di dalam dirimu. Oh, aku tahu persis seberapa besar cinta itu saat ini.” Sang Bidadari melempar senyum menggoda.
“Maksudmu, ada orang-orang istimewa yang tidak ingin menjadi bidadari?” tanya Louise, berusaha mengalihkan segala pembicaraan tentang cinta.
“Tentu saja, Lady. Ellinor dari Dongeng Putri Teratai dan Penyihir Buruk Rupa adalah salah satunya.”
Louise terbelalak, baru menyadari bahwa ibu Phillip dan Lillian juga lahir tanpa cinta dan darah. Lebih buruk, dia dilahirkan oleh seorang penyihir seperti Miranda. “Itu artinya ibu Phillip dan Lillian seorang bidadari?”
“Seharusnya begitu, tapi seperti dirimu, Lady. Dia memiliki cinta yang begitu besar di dalam dirinya. Bagi Ellinor, keluarga adalah yang paling utama sehingga tidak mungkin lagi dirinya bisa bersikap adil. Apa pun yang terjadi, dia akan selalu mementingkan serta mendahulukan keluarganya.”
“Bukankah itu tindakan terpuji?” tanya Louise ragu.
“Itu lebih cocok disebut egois.” Tiffany menjawab dengan sabar, “seperti yang pernah kukatakan. Membantu segelintir orang padahal ada ribuan orang di seluruh semesta yang juga membutuhkan bantuan. Mereka akan merasa terasing, bukan?”
Louise tak lagi menjawab karena semua itu masuk akal. Permohonan tulus bisa datang dari mana saja. Tidak peduli apa latar belakang mereka, seorang raja atau petani, putri atau penyihir, jahat atau baik. Akan tetapi, permohonan siapa yang harus dikabulkan masih terlalu semu, dan hanya mengabulkan beberapa permohonan akan terdengar sangat egois. Padahal semua permohonan pasti berdasarkan ketulusan serta kemauan kuat. Di sisi lain Tiffany kembali menuang teh di kedua cangkir yang hampir habis, menyesapnya sedikit lalu menarik napas dalam.
“Lady, kau mungkin masih bingung kenapa kita membahas semua hal ini secara tiba-tiba.” Sang Bidadari melanjutkan ketika Louise menatapnya. “Kau tahu, suatu saat nanti pilihan itu akan menghampirimu. Menjadi adil atau egois, tidak ada dari dua pilihan itu yang berdampak buruk, tapi keduanya memiliki tanggung jawab besar.”
Manik toska Tiffany menyorot dalam pada iris amber milik Louise. “Dongeng baru akan segera lahir, dan saat hari itu tiba kau sebaiknya sudah menentukan pilihan. Aku mohon, Lady. Apa pun pilihanmu, haruslah yang paling membuatmu bahagia.”
“Menjadi adil atau egois ....”
Sebuah senyum lebar terukir di bibir Louise. Gadis itu sudah tahu harus memilih yang mana, dan ketika dongeng baru lahir, ia sudah sangat siap menghadapinya.
***
Suara familiar itu terdengar samar di telinga, pemandangan sekitar pun masih buram seolah sedang berada di dalam air. Begitu penglihatannya membaik, wajah Phillip-lah yang pertama kali terlihat, dan Lillian langsung merengut kecewa.
“Ah, ternyata cuma Phillip. Padahal aku mengharapkan pangeran tampan,” keluhnya, sebelum tertawa karena ekspresi sang kakak berubah cemberut.
“Memangnya ini dongeng Putri Tidur!” Phillip berjalan ke lemarinya dan mulai mengambil barnag-barang. “Tidak biasanya kau tidur selama ini, Lill. Semalam kau tidur larut?”
Phillip memang selalu tidur lebih awal belakangan ini, sebab pemuda enam belas tahun itu ikut sang ayah ke Kota Briston untuk ikut kursus akademis, lantas berkerja sejenak di Pertanian Navis untuk menambah uang saku. Sedangkan Lillian lebih suka belajar di rumah, dan Phillip tidak pernah absen meminjamkan buku-buku bagus dari perpustakaan untuk sang adik. Sebelum menjawab pertanyaan kakaknya, Lillian menarik lengan pemuda itu supaya mereka bisa duduk berdua di atas ranjang.
“Apa yang kau lakukan, Lill. Aku harus pergi ke pertanian Navis,” protes Phillip, meksipun ia tidak mungkin bisa menolak.
“Sebentar, Phill. Semalam aku mendapatkan mimpi yang sangat indah.” Lillian merendahkan suara, saat Phillip mencondongkan badan. “Aku rasa Bidadari Tiffany mendatangiku lewat mimpi untuk memberitahu bagaimana seseorang menjadi Bidadari.”
Pemuda itu berjengit. “Mustahil, gerbang Silverwall sudah tertutup!”
“Tiffany bilang, dongeng baru akan segera lahir. Saat hari itu tiba, seseorang yang istimewa harus membuat pilihan,” tambah Lillian yang membuat alis kakaknya semakin bertaut.
“Bidadari Tiffany mengatakan itu semua padamu?”
Gadis itu menggeleng. “Aku hanya menonton Bidadari Tiffany sedang mengobrol dengan seseorang yang spesial tersebut, dan ....” Manik hijau itu menatap serius. “Aku rasa orang spesial itu adalah Louise.”
Mendengar nama itu, Phillip tertegun sendu. “Dia tidak pernah mendatangiku di dalam mimpi ....” Pemuda itu tidak mengatakannya, tapi ia selalu mengharapkan hal itu terjadi. Louise mengunjunginya barang sejenak, meskipun itu hanya di dalam mimpi.
Lillian merangkul kakaknya erat-erat. “Phill ... supaya bisa menjadi bidadari, orang spesial ini harus memilih antara menjadi adil atau egois, dan rasanya aku tahu apa yang akan dipilih Louise.”
“Kau tahu?”
“Yah, aku hanya menebak-nebak.” Lillian mengatakan itu dengan malu-malu, tapi semua orang tahu bahwa ‘menebak-nebak’ versi Lillian berarti 95 persen benar. Gadis itu berbisik. “Aku rasa dia akan memilih untuk menjadi egois.”
Phillip menoleh cepat kepada sang adik yang senyumnya secerah matahari.
“Karena dia sedang mencintai seseorang.”
Comments
Post a Comment