Ulang Tahun Ke 15 (Part Wiggy)


Harold dan Phillip sibuk sejak pagi, memindahkan perabot besar ke kamar baru Lillian. Lemari, ranjang tunggal, meja dan kursi baca, serta cermin rias diletakkan sesuai keinginan sang mandor, alias Lillian sendiri.

Seharusnya proses pemindahan tidak perlu memakan waktu lama, tapi Lillian sangat signifikan dengan letak barang-barangnya. Tidak simetris atau tidak menempel cukup pada tembok akan membuatnya terganggu sehingga beberapa kali perabot itu harus digeser lagi dan lagi.

“Baiklah, Lilly, kau sudah puas sekarang?” Harold mengelap peluh pada dahi, padahal udara dingin. Mungkin ada lima kali pria itu mendorong-menarik lemari pakaian.

“Masih kurang beberapa senti atau mili barangkali?” Phillip menyambar penuh sindiran.

Yang diajak bicara mengusap dagu sejenak. Mengeker dengan ibu jari, lantas menyunggingkan senyum. “Ini sempurna! Terima kasih, Ayah dan Phillip!”

“Ah, akhirnya!” Phillip menjatuhkan tubuh pada ranjang, mengatur napas yang masih satu-dua.

“Aku membuatkan kalian pai susu dan teh limun. Ayo cepat, cepat! Kita ke meja makan sebelum dingin.”

Itu alasan Lillian untuk mengusir mereka, padahal gadis itu hanya ingin secepatnya menikmati kamar baru. Ia mengambil napas dalam, dan langsung menyesal lantaran aroma menyengat cat menusuk hidungnya. Lillian meringis, tapi wajah berserinya tidak berubah.

Mungkin ia akan tidur siang, atau membaca buku seharian, yang penting bisa cepat beradaptasi. Belum sempat semua itu terlaksana, sepasang tangan menutup matanya dari belakang. Mulanya Lillian panik dan hendak berteriak, tapi entah kenapa tangan-tangan itu tidak mengintimidasi sama sekali, apa lagi saat disentuh dan Lillian tahu persis siapa pemilik tangan bertulang besar itu.

“Wiggy, lepaskan aku!” omelnya, meskipun tidak dengan nada marah.

Wiggy langsung menurut sambil tertawa sejenak, dan sekarang mereka berhadapan. “Hai, Lilly. Maaf mengagetkanmu.”

“Menyelinap itu tidak sopan, Wiggy!” Lillian berkacak pinggang. “Semua manusia masuk lewat pintu, sebaiknya kau mulai membiasakan hal itu karena sekarang kau juga manusia.”

“Ma—maaf ... tadi aku hanya, eh, aku melihat jendela terbuka dan melihatmu sendirian, jadi ....” Pemuda berkulit cokelat itu gelagapan, lalu teringat sesuatu dan merogoh saku depan pada baju panjangnya. “Oh, iya! Edmund menitipkan ini untuk hadiah ulang tahunmu. Dia tidak sempat datang ke sini karena ada pertemuan dengan Walikota Briston.”

Wiggy menghela napas lega saat Lillian menatap berbinar-binar pada kalung mutiara merah muda pemberian Edmund. Rencananya terhindar dari omelan pun sukses.

“Mau kubantu?” Pemuda itu menawarkan.

Lillian mengangguk, lantas berputar dan menyibak rambut panjangnya agar Wiggy bisa memasangkan kalung dengan mudah. Setelah selesai, keduanya malah terpana dengan hal berbeda. Lillian terpana dengan kalung barunya yang berkilauan, sementara Wiggy terpana dengan si pemakai kalung. Wajahnya berubah warna, dan segera disamarkan dengan dehaman.

“Ini hadiah ulang tahun terbaik. Sampaikan terima kasihku untuk Edmund, ya.” Lagi-lagi gadis itu menyerukan jargon andalan. Akan tetapi, decihan Wiggy membuat perhatiannya pada kalung buyar.

“Itu bukan hadiah terbaikmu, Lilly. Belum ... karena aku yang akan memberikanmu hadiah terbaik.”

“Benarkah? Apa itu?”

“Tidak di sini ... ayo, kita jalan-jalan!”

“Tunggu! Aku harus izin sebelum pergi. Kalau tidak, Phillip dan Ayah bisa khawatir,” tegur Lillian saat pemuda ikal itu menarik lengannya ke arah jendela.

“Ini kan hari ulang tahunmu, saat yang tepat untuk tidak menjadi anak manis dan penurut. Toh, usiamu suah lima belas. Ayolah, Lilly! Kau tidak akan menyesal.”

Gadis itu hanya butuh satu detik untuk berubah pikiran. Lillian memang tidak pernah menyesal dengan segala hal yang ditunjukkan Wiggy. Entah itu hal yang memang menakjubkan atau malah hal paling sepele. Baginya, bersama Wiggy segala hal akan terasa istimewa. Kedua insan itu melompat keluar jendela, mengendap sambil cekikikan ke arah Vesta yang menunggu lumayan jauh dari rumah.

“Mau duduk di depan?” tawar Wiggy ketika mereka hendak memanjat ke punggung Vesta.

Demi memastikan pendengaran, Lillian menoleh cepat. “Duduk di depan? Bagaimana kalau aku jatuh?”

Wiggy tertawa, “Kau pikir aku akan membiarkanmu jatuh, Lilly? Kami akan menjagamu sebaik mungkin, benar, ‘kan, Vesta?”

Si kuda meringkik setuju, mengentakkan satu kaki depannya beberapa kali. Meskipun masih ada keraguan, gadis itu akhirnya mengangguk, maka Wiggy membantunya naik lebih dulu sebelum ikut naik. Begitu pelana digebah mendadak, Lillian terlonjak kebingungan harus berpegangan ke mana, jadi ia mencengkeram surai Vesta terlalu kencang hingga si kuda meringkik protes.

Wiggy terkekeh, lalu melingkarkan satu tangannya ke pinggang gadis itu. “Jangan takut, aku memegangmu,” bisiknya penuh ketenangan yang langsung menular kepada Lillian.

Gadis itu beralih pegangan pada tangan Wiggy, dan menikmati perjalanan mereka. Berkat hilangnya kekhawatiran, Lillian menyadari bahwa Vesta berlari seringan angin, seolah kuda itu tidak menapak tanah sama sekali.

Rasanya seperti masa lalu, terbang bersama Wiggy menjelajahi Hutan Tomer. Kegiatan favorit Lillian dan Wiggy yang tidak lagi bisa mereka lakukan semenjak sayap kupu-kupu Wiggy rusak. Perlahan, gadis itu merentangkan kedua tangan, menikmati desir angin menerbangkan anak rambutnya seperti gorden pada jendela.

“Lihat, Wiggy! Kita terbang seperti dulu!” seru gadis itu, berusaha mengalahkan deru angin.

“Benar, karena Vesta adalah sayap baru kita,” jawab Wiggy sambil mengeratkan pelukannya.

***

Perjalanan mereka berhenti setengah jam kemudian. Hamparan padang rumput terlihat sejauh mata memandang, beberapa petak bunga tulip, tanaman paku, serta dandelion seolah menyatu dengan langit biru. Perpaduan warna sempurna layaknya lukisan, dan Lillian tidak berhenti tersenyum sejak tadi.

Sekelompok kupu-kupu mendekat, hinggap sedetik di dahi, lantas pergi saat hendak ditangkap. Tiba-tiba, Vesta melesat di depan Lillian, berlari dan melompat kegirangan mengelilingi ilalang tinggi seperti seekor anjing. Gadis itu terkikik melihat tingkah si kuda.

“Cuaca yang bagus untuk piknik, ‘kan?”

“Tapi kita tidak menyiapkan apa pun untuk piknik ....”

Begitu Lillian menoleh, ternyata Wiggy menenteng sebuah tas besar. “Kita memang tidak menyiapkan apa pun, tapi aku menyuruh para Elf menyiapkan segalanya .... Berhenti, Lilly! Biar aku saja!” Pemuda itu mencegah Lillian yang hendak membantu. “Hari ini aku akan memanjakanmu seperti Nyoya Besar.”

Lillian membalas dengan gerakan hormat ala putri raja, kemudian duduk anggun pada onggokan batang kayu terdekat. Memperhatikan Wiggy menggelar tikar, mengeluarkan keranjang berisi bekal, juga botol minuman, dan peralatan makan lainnya. Setelah selesai, pemuda itu menghampiri Lillian dengan langkah teratur yang elegan. Tangannya terulur diiringi dagu terangkat formal.

“Marilah, Nyoya Lillan. Pikniknya sudah siap.”

Setelah berhasil menahan tawa, Lillian ikut menaikkan dagu, menerima uluran tangan tersebut. Mereka bergandengan menghampiri tikar, serempak duduk berhadapan di depan hidangan muffin cokelat berhias krim tinggi.

“Silakan, Nyonya Lillian ....” Pemuda itu menyodorkan satu muffin kepada Lillian. “Para Elf membuatnya spesial dengan krim keju untuk ulang tahunmu.”

“Terima kasih, Tuan Edwig. Ayo, kita makan!”

Wiggy terlalu bersemangat menggigit muffinnya hingga krim kekuniangan mengotori hidung lancipnya. Lillian yang menyadari itu segera bergeser dan mengeluarkan sapu tangan.

“Makan pelan-pelan, Wiggy. Kau seperti anak kecil saja,” ujarnya berusaha menahan kikikan.

Untuk sedetik, Wiggy menikmati perhatian itu, sampai ia tersadar dan menepis. “Ayolah, Lilly, ini giliranku memanjakanmu. Harusnya aku yang membersihkan hidungmu.”

“Tapi hidungku tidak kotor ....”

Mendadak Wiggy menjulurkan muffinnya ke wajah Lillian hingga krim kuning menyentuh hidung gadis itu sebelum sempat menghindar. “Nah, sekarang hidungmu kotor. Sini, biar kubersihkan.”

Lillian tidak jadi marah saat Wiggy tanpa rasa berdosa mengusap hidungnya dengan sapu tangan yang sama, ia malah tertawa dan melanjutkan makan. Vesta meringkik minta diperhatikan, kuda itu melompat tinggi sekali melewati kawanan tulip, lantas menendang-nendang udara dengan kaki belakangnya.

Tindakan si kuda ternyata menganggu kumpulan lebah pengepul nektar, lebah-lebah itu berkerumun menjadi satu kelompok, dan mengejar Vesta keliling padang. Wiggy tertawa terbahak-bahak, “Rasakan!” katanya begitu tega sampai Lillian harus memukul bahunya. Vesta berhasil terbebas dari kejaran para lebah meskipun seluruh tubuhnya basah kuyup sebab si kuda harus terjun ke danau.

Perhatian Lillian dari Vesta teralihkan saat Wiggy menyodorkan setangkai dandelion yang mekar sempurna persis di depan hidungnya. “Buatlah permohonan, Lilly. Anggap dandelion ini sebagai lilin.”

“Baiklah!”

Biasanya Lillian mengucapkan permohonan dengan lantang agar semua orang bisa mendengar, lantas mengamini permohonan tersebut. Akan tetapi, kali ini gadis itu menutup mata dan membatin, sebab harapannya sekarang sedikit berbeda. Sesuatu yang ia sendiri malu mengatakannya lantaran akan terdengar sangat egois.

Selesai membuat permohonan, gadis itu siap meniup. Bertepatan dengan tarikan napas, Wiggy malah memasukkan dandelion itu ke dalam mulut Lillian sehingga ia terbatuk melepehkan serpihan putih dari mulut.

“Wiggy!!!” Jeritan Lillian tadi membuat burung-burung di sekitar mereka terbang tak tentu arah akibat terkejut. “Dasar jahil! Awas, kau!”

Wiggy terbahak, menghindari lemparan sepatu, dan buru-buru lari sebelum Lillian menangkapnya. Kedua remaja itu saling kejar sambil tertawa dan berseru. Wiggy beberapa kali menoleh hanya untuk menjulurkan lidah. Kedua kaki Lillian melaju lebih cepat hingga jarak mereka semakin dekat, dan Lillian melompat setinggi mungkin guna menyergap tubuh Wiggy. Mereka jatuh di atas rumput halus masih dengan tawa riang.

“Kena kau! Sekarang, rasakan ini!”

Argh! Baik, baik, maafkan aku! Jangan lakukan itu!”

Pemuda itu meronta diringi tawa, berusaha menyingkirkan tangan-tangan Lillian dari rusuknya. Wiggy mengambil ancang-ancang, lalu mendorong Lillian dari atas tubuhnya, membuat posisi mereka berbalik. Perlahan, tawa keduanya lenyap menyisakan dua pasang mata yang saling menatap diiringi napas menderu.

Baik Lillian maupun Wiggy seolah membeku dalam posisi canggung tersebut tanpa satu pun berniat bangun. Tidak saat mereka tengah menikmati indahnya warna mata masing-masing, serta betapa hangatnya embusan napas menerpa wajah di tengah angin bertiup. Tangan Wiggy terangkat merapikan anak rambut Lillian yang menutupi wajah, dan gadis itu balas menggenggam tangannya.

Tepat ketika mereka pikir sesuatu akan terjadi, leher Wiggy tercekik disertai tarikan kuat dari belakang. Pemuda itu terseret beberapa detik sebelum terempas ke kumpulan dandelion, menerbangkan lebih banyak lagi serpihan putih ke udara. Pemuda itu menoleh sengit, dan ternyata pelakunya adalah Vesta.

Si kuda mendengus marah, seolah tidak suka dengan apa pun yang dilakukan Wiggy dan Lillian barusan. Di sisi lain gadis itu ikut bangun merapikan rambut hitamnya, juga menyeka pakaian yang dipenuhi serpihan dandelion serta rumput kering.

“Padahal tidak ada Phillip, tapi masih ada saja pengganggu momen-momen bagusku!” ketus Wiggy sambil melirik marah pada Vesta yang tidak merasa berdosa sama sekali. Kuda itu meringkuk hendak tidur siang, seolah baru saja melaksanakan tugas mulia.

Lillian pura-pura tidak mendengar meskipun ia sendiri sedikit kecewa. Rasa kecewa yang ia sendiri tidak tahu apa penyebab pastinya. Lillian berusaha melupakan kejadian barusan, meskipun adegan itu malah tidak mau hilang sama sekali dari kepala. Gadis itu memilih kembali pada tikar untuk melanjutkan piknik mereka.

Suasana di sekitar Wiggy dan Lillian berubah canggung, keduanya saling diam lama sekali saat menghabiskan muffin dan roti lapis. Padahal, hal itu tidak seharusnya terjadi di antara dua orang yang terkenal banyak bicara. Bahkan, mereka beberapa kali memergoki diri masing-masing saling lirik, lantas membuang muka saat tatapan saling berserobok.

Sedikit demi sedikit langit berubah jingga, dan lengkung matahari tinggal separuh jalan. Wiggy bangkit sambil meregangkan punggung. “Sudah sore. Ayo kita pergi!”

Lillian mengangguk dengan senyum tipis, lalu membantu pemuda itu membereskan perlatan. Diam-diam menyesali kecanggungannya sepanjang sore, juga betapa cepatnya satu hari berlalu. Padahal jika Lillian membuang gengsi untuk membuka topik pembicaraan, hari mereka pasti berjalan lebih menyenangkan, seperti seharusnya. Tanpa diketahui, Wiggy juga memikirkan hal serupa.

Begitu peralatan selesai dikemas pada punggung Vesta, mereka pun siap pergi. “Terima kasih untuk hari ini, Wiggy,” tutur Lillian, manik hijaunya berbinar antara senang dan sedih. “Ini memang hadiah ulang tahun terbaik yang ....”

Wiggy buru-buru menahan kalimat itu. “Aku bahkan belum memberi apa pun untukmu, Lilly.”

Tentu saja Lillian mengernyit heran. “Belum?”

“Belum ... karena hadiah dariku baru akan kau terima pada tujuan kita selanjutnya.” Pemuda itu mengeluarkan secarik kain panjang dari saku celana. “Tapi kau harus menutup mata, karena ini sebuah kejutan.”

“Aku suka kejutan!” sorak Lillian.

Wiggy tersenyum lebar menunjukan deretan gigi, lantas beralih ke belakang tubuh Lillian untuk memakaikan kain pengikat itu. “Kau percaya padaku, ‘kan?” bisiknya tepat di belakang telinga hingga bulu tengkuknya meremang. Ia hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

Setelah penutup mata terpasang, keduanya pun kembali menunggangi Vesta. Kali ini Lillian duduk di belakang, memeluk erat pinggang Wiggy, sebab berkuda dengan mata tertutup benar-benar menguji adrenalin.

“Kita mau ke mana? Apakah tempatnya jauh dari rumahku?” tanya Lillian di sela derap sepatu kuda. “Kau akan mengantarku pulang ‘kan? Wiggy, jangan diam saja. Ini benar kau, ‘kan?”

Pemuda itu merespons dengan tawa. Tidak perduli usia berapa pun, kebiasaan banyak tanya keluarga Grace agaknya tidak akan hilang. Vesta melanjutkan langkah-langkah tegapnya melewati pepohonan raksasa, serta melompati rawa-rawa kecil dipenuhi capung serta kawanan kodok yang siap melakukan konser. Satu-dua nyanyian kodok mulai terdengar, seolah menjadi lagu perpisahan dengan sang mentari

***

“Kau siap, Lilly?”

“Ya!”

Begitu penutup mata terbuka, pupil dalam manik hijau gadis itu langsung membesar disuguhi pemandangan di hadapannya. Jamur-jamur menyala berbagai warna berpadu dengan langit oranye, awan-awan putih tipis tampak begitu anggun.

Tidak sampai di situ, pohon raksasa menjulang tinggi seolah mencakar langit, dan Lillian mengenali pohon itu dengan baik. Tempat kesukaanya dan Wiggy menghabiskan waktu sore, dua tahun lalu saat menunggu kabar pernikahan Edmund. Akan tetapi, pohon itu semakin menakjubkan dengan rumah kayu sederhana persis di puncaknya.

“Ayolah, Lilly! Kalau tidak cepat, kita bisa ketinggalan pemandangan matahari terbenam.” Entah sejak kapan Wiggy sudah bergelantung pada serabut tebal yang menyatu pada pohon besar itu. Tangannya terulur kepada Lillian.

“Kau yakin ini aman?”

“Percayalah padaku, Lilly.”

Pemuda itu merebut tangan Lillian, lantas menariknya ke dalam pelukan. Tiba-tiba, sulur pohon meluncur ke atas sehingg Lillian menjerit ketakutan, mempererat pelukannya. Namun, ketakutan itu hanya beberapa detik, lantaran mereka sudah ada di rumah pohon dalam sekejap.

Bangunan itu seluruhnya terbuat dari kayu, bahkan atapnya berupa ranting-ranting yang masih ditumbuhi dedaunan. Memang agak berantakan, tapi di dalamnya begitu hangat dan nyaman. Penerangan datang dari jamur menyala, ada meja pendek dan karpet dari bulu hewan, minimalis dan elegan.

“Bagaimana menurutmu? Aku membuatnya sendiri tanpa bantuan para Elf sama sekali,” ujar Wiggy dengan dada membusung, tapi setelahnya mengusap dagu. “Memang tidak terlalu rapi, tapi ini lumayan, ‘kan? Aku harap kau tidak kecewa.”

“Aku sangat menyukainya!” serobot Lillian, “Ini menakjubkan sekali, Wiggy! Bolehkah aku main kapan-kapan?”

Wiggy mendengkus. “Main kapan-kapan? Rumah pohon ini kubuat untukmu, Lilly. Kau bisa ke sini kapan saja, bahkan tinggal di sini kalau mau!”

“Kau tidak pernah kehabisan ide untuk membuatku merasa istimewa, ya?”

“Istimewa. Memang itulah dirimu.” Pemuda itu tersentak. “Ayo kita ke balkon, Lilly! Matahari sebentar lagi terbenam!”

“Kita punya balkon juga?”

Wiggy membuka pintu kecil di sebelah Barat rumah pohon, ada lahan lebih, seperti balkon tanpa pagar. Keduanya duduk berdampingan di situ dengan kaki menggantung, wajah mereka disinari cahaya jingga yang perlahan membias. Lillian menyandarkan kepala pada bahu Wiggy, menyenandungkan nada dari kotak musik pemberian Phillip yang ia putar semalaman.

Pemandangan matahari tenggelam tidak pernah membosankan, seolah meninggalkan bekas tersendiri dalam jiwa seseorang, tidak peduli seberapa sering mereka melihatnya. Akhirnya langit berubah biru gelap sempurna, rembulan samar-samar menampakkan diri, tapi Wiggy dan Lillian belum beranjak.

“Boleh aku mengatakannya sekarang?”

“Mengatakan apa?”

“Ini hadiah ulang tahun terbaik dalam hidupku ....”

“Hampir.” Wiggy tersenyum, menoleh pada gadis di sampingnya.

“Masih belum juga?” Lillian balas menatap, ada sedikit rasa sebal dalam ekspresinya. “Kau sudah lama merencanakan hari ini, ya? Maksudku ... jalan-jalan, piknik, rumah pohon, semua hadiah ini sangat menakjubkan. Apa lagi hadiah yang mungkin bisa kau berikan untukku?”

Pemuda itu terkekeh, mempersempit jarak mereka untuk menyematkan rambut lurus Lillian ke belakang telinga. “Kau tidak akan menyangka berapa lama aku menunggu hari ini.” Ia merendahkan suara, “Lagi pula, selalu ada hadiah yang bisa kuberikan untukmu. Hadiah yang begitu banyak sampai mustahil bisa habis.”

Lillian membiarkan manik biru Wiggy merasuk ke dalam manik hijau miliknya, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut pemuda itu, seolah mengandung kode penting yang harus diingatnya sepanjang masa.

“Sekarang keputusan ada padamu, Lilly. Maukah kau menerima semua hadiah itu?”

Lillian butuh beberapa detik mengatur napas sebelum bisa menjawab, “Aku selalu suka hadiah darimu.”

Maka itulah yang Wiggy berikan. Sebuah hadiah istimewa yang pasti Lillian ingat seumur hidupnya. Hadiah terakhir untuk hari ini, tapi juga permulaan dari hadiah abadi di masa mendatang. Sebagai pertanda bahwa gadis itu bukanlah lagi seorang anak kecil yang hanya bisa mengekor, melainkan gadis remaja yang memiliki cinta, serta keputusannya sendiri.

Lillian begitu menyukai hadiah pemberian Wiggy, sampai-sampai menginginkannya lebih lama dan lebih banyak lagi. Di bawah sinar sang bulan, diiringi tepuk tangan bintang-bintang. Akhir bahagia yang keduanya miliki, tidak pernah terasa sesempurna ini.

“Selamat ulang tahun ke lima belas, Lilly,” bisik Wiggy dalam pelukan. “Aku mencintaimu.”

Lillian mempererat dekapannya. “Aku juga mencintaimu.”

Tidak ada kata yang bisa menggambarkan betapa cerahnya ekspresi Wiggy saat Lillian mengucapkan itu. Alasannya menjadi abadi di usia muda akhirnya terbayar, mimpi terbesarnya selama ini telah menjadi nyata.

Mendadak, rumah pohon bertegar, disertai ketukkan keras yang sepertinya berasal dari bawah. Wiggy dan Lillian melepaskan rangkulan mereka untuk saling tatap sejenak. Samar-samar, terdengar suara ringkikan Vesta juga suara lain yang tidak asing.

“Hey, Wiggy! Lill! Kalian di atas sana?”

“Itu Phillip!” seru Lillian dan Wiggy bersamaan.

Keduanya buru-buru beranjak dari balkon, menuju pintu utama, dan meluncur turun dengan sulur yang sama seperti saat mereka naik. Benar saja, di bawah sudah ada Phillip yang menunggangi Eboni—Kuda keluarga Grace. Wajahnya merengut penuh amarah, manik hijau mengintimidasi tertuju pada Wiggy. Pemuda itu turun dari kuda demi menghampiri sang adik.

“Keterlaluan! Aku dan ayah mencarimu ke mana-mana, dan kau malah bersenang-senang di sini! Bersama orang ini ....”

“Maaf, Phill. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi.”

“Ya benar, aku sudah pernah mendengar janji itu!”

Lillian memasang wajah penuh penyesalan yang selalu ampuh membuat sang kakak luluh. Akhirnya, gadis itu hanya disuruh menghampiri Eboni, dan menunggu di sana selagi ia melakukan urusan ‘orang dewasa’. Phillip kembali memfokuskan mata pada pemuda ikal di hadapannya, yang seperti biasa memasang cengiran tak berdosa.

“Apa saja yang kalian lakukan seharian?”

Wiggy mengedikkan bahu. “Jalan-jalan, piknik, dan melihat matahari terbenam.”

“Kenapa rambutmu berantakan begitu?”

“Kau kebingungan melihat rambutku berantakan? Aku bahkan tidak pernah menyisirnya!”

“Benar juga ....” Phillip mengerjap sesaat, detik berikutnya kembali memelotot.

Manik hijaunya berkeliaran mencari bahan bagus untuk mengomeli pemuda ikal itu. Akan tetapi, yang dicari tak kunjung ditemukan.

“Jangan macam-macam dengan adikku.”

“Tidak akan!”

“Dan jauhi dia!”

“Tidak akan!”

Phillip tahu usahanya menjauhi Wiggy dari sang adik akan sia-sia, tidak peduli sekeras apa mencoba. Jadi ia memutuskan untuk berbalik mengentakkan kaki. Menaiki punggung Eboni, menyuruh Lillian ikut naik, lantas keduanya berjalan menjauh. Phillip mulai berceramah, menasihati ini-itu kepada sang adik. Namun, Lillian tidak mendengarkannya sama sekali, karena ia sibuk bertukar senyum penuh arti dengan orang kesukaannya di dunia.

Comments

Popular posts from this blog

The Quadruplets

Pan has Grown Up

Keunggulan Dua Pangeran