The Puppeteer and The Toy Maker
"Their power will overwhalm and destroy you. The world most shocking monsters."
***
"Pertama-tama kau harus memiliki wakil." Begitu kata Tuan Besar. "Tugas ini mungkin merepotkan bahkan untuk makhluk sepertimu."
Lalu terbukalah sebuah pintu besi berkarat, meskipun samar, terlihat berbagai macam benda yang mengisi ruangan itu. Terlalu aneh untuk disebut hewan, terlalu mengerikan untuk disebut manusia. Itu adalah kamar Sang Pembuat Mainan. Jason The Toy Maker. Pria itu memunggungi kedua tamu, sibuk mengutak-atik sesuatu, menciptakan mainan baru.
Berbagai macam peralatan bengkel seperti obeng, tang, martil, ratusan paku dan mur, serta kawat lunak mengelilingi tubuhnya. Dengan lihai kedua tangan itu menyambar satu peralatan dengan cepat, lantas melemparnya, dan mengambil peralatan lain. Sampai akhirnya, The Toy Maker mengangkat maha karyanya—seorang manusia bertentakel gurita.
"The Toy Maker?" kata Sang Pengendali kedengaran ragu. "Bukankah dia terlalu ... konyol?"
Tuan Besar menoleh. "Apa yang akan dikendalikan oleh Sang pengendali, jika tidak ada sesuatu yang dibuat, benar? Aku yakin kalian akan menjadi perpaduan yang sempurna."
"Masa ...," sinis pria itu.
"Lihat saja ... Jason!"
Sang Pembuat Mainan perlahan berbalik, menunjukan wajah yang dipenuhi ukiran hitam jenaka, mata hijau terang, rambut yang merah kusam, serta gigi-gigi setajam gergaji. Dia mengenakan kemeja putih dan rompi cokelat. Usang, tapi sangat rapi.
"Hei." Suaranya tinggi, terkesan dibuat-buat. "Aku suka matamu," lanjutnya begitu melihat mata Sang Pengendali juga menyala, berwarna kuning terang.
"Keluar dari sana dan temui ketua barumu," kata Tuan Besar.
Dengan malas, pria itu melangkah maju, menunjukkan postur tinggi-kurus yang atletis. Ia meneliti Sang Pengendali sejenak, lalu berkacak pinggang. "Dia ketua? Lebih cocok menjadi pemimpin para gelandangan."
"Jaga bicaramu!" desis Sang Pengendali.
"Kalau aku tidak mau, bagaimana?"
"Akan kubuat kau memotong lidahmu sendiri!"
"Cukup!" bentak Tuan Besar. "Suka atau tidak, mulai sekarang kalian akan bekerja sebagai tim, sebaiknya kalian mulai membiasakan diri satu sama lain!"
Seperti seorang ayah tengah memarahi kedua anaknya yang bertengkar, Sang Pengendali dan Jason hanya tertunduk mendengarkan.
"Sekarang pergilah jemput anggota kalian." Tuan Besar melanjutkan. "Latih mereka agar layak menjadi bagian dari kita. Aku percayakan semua pada kalian." Tubuh Tuan Besar memudar, seperti gelombang statik, lantas benar-benar menghilang entah ke mana.
"Dasar diktator," gerutu Jason. Makhluk itu mendekati Sang Pengendali, meneliti kulit abu-abunya, mata kuning bersinar yang tak berbola, mulut kosong yang juga bersinar, dan jari-jari yang dipenuhi untaian benang emas.
"Kenapa yang sepertimu bisa menjadi pemimpin?" Dia bertanya dengan maksud mengejek.
"Aku adalah Pengendali. Aku bisa mengendalikan apa saja, termasuk dirimu. Kau akan lemas seperti boneka, mematuhi setiap perintah yang ada di kepalaku," jelas Sang Pengendali dengan sabar, tanpa sedikitpun nada kesal.
"Ya, ya, ya. Memang apa lagi yang bisa dilakukan The Puppeteer selain mengendalikan boneka bodoh?" Jason mengolok-olok nama itu. "Tapi jangan sombong dulu. Menurutku 'Membuat' lebih tinggi kedudukannya daripada 'Mengendalikan'. Aku yang membuat benda maupun makhluk-makhluk menakjubkan dengan susah payah, sementara kau hanya mengendalikan mereka."
"Menurutmu mengendalikan ciptaan-ciptaan bodohmu tidak mengeluarkan tenaga?" jawab Sang Pengendali.
Jason buru-buru mengangkat sebelah telapak tangan. "Pokoknya, aku terhina dijadikan wakil."
"Jadi apa yang harus kita lakukan?"
"Bertarung, tentu saja! Yang menang boleh menjadi ketua."
"Oke ... Kenapa tidak? Apa yang bisa kau perbuat?"
Jason tersenyum penuh arti, menyodorkan sebuah boneka abu-abu yang entah apa jenisnya. Terlihat lucu, kalau saja tidak banyak jahitan hitam di sekujur tubuhnya, kalau saja bola matanya tidak seputih mayat. Saat Sang Pengendali menerimanya, bulu boneka itu sekasar perdu alih-alih lembut.
"Kau sangat murah hati ... tapi kukira kita akan bertarung?"
Jason tidak menjawab, dia melompat ke langit-langit sambil terkikik. Kedua tangannya menutup telinga rapat-rapat. Kedua matanya terus mengawasi Sang Pengendali meneliti boneka itu, seolah menunggu sesuatu terjadi. Samar-samar keluar detak dari dalam boneka. Namun, siapa pun yang memiliki otak dan telinga tahu bahwa itu bukan detak jantung, melainkan jam. Hanya sebentar, tanpa peringatan boneka itu meledak bagai dinamit, melontarkan kawat dan paku-paku ke seluruh penjuru ruangan.
Paku-paku itu bahkan menancap pada tubuh Jason sendiri. Namun, ia tetap tertawa terbahak-bahak, karena kondisi Sang Pengendali di bawah sana jauh lebih parah. Seluruh tubuhnya tertutup paku dan kawat. Tidak terlihat lagi mana hidung, mana mata, mana mulut. Semuanya berwarna abu-abu berkarat, seperti seekor landak.
"Sudah puas tertawa?" ujar Sang Pengendali. Sekonyong-konyong paku-paku dan kawat di tubuhnya terserap, seperti sebuah spons yang sedang membersihkan diri. Ratusan lubang kecil terlihat mengeluarkan cahaya kuning, lantas lubang-lubang itu menutup, dan kulitnya kembali seperti semula. Tawa Jason serta-merta menghilang. "Trik konyol. Tapi aku memang tidak berharap banyak dari seorang pembuat mainan." Sang Pengendali melanjutkan. "Kau sepertinya tidak menangkap perbedaan di antara kita."
Jason mendengarkan dengan senyum miring. Kedua tangannya memanjang sampai lantai, berlipit menyerupai akrodeon, lalu kepala boneka kaus kaki terlihat di ujungnya. "Jelas, aku lebih baik karena bisa menciptakan," katanya.
"Memang betul ...." Sang Pengendali menggerakkan kesepuluh jarinya, menangkap beberapa mainan Jason yang bentuknya mengerikan, menjerat mereka sehingga mainan-mainan itu perlahan bergerak patah-patah seperti zombie. Semuanya mengarah kepada Jason.
"Kau menciptakan mereka ... tapi aku bisa membuat mereka hidup."
Beberapa boneka yang bagian tubuhnya terbedah sana-sini berlari ke arah Jason, tuannya sendiri. Mulai berdetak dan meledak, mengeluarkan lebih banyak paku dan kawat. Untung saja pria itu gesit menghindar. Melompat sana-sini seperti kera dengan sepatu pegas di kedua kaki, menghindari makhluk ciptaannya sendiri. Beberapa mainan Jack-in-the-box mendekat, nada Pop Goes the Weasle mengalun serempak. Ketika sampai di depan Jason, nada itu pun berhenti, dan boneka badut keluar dari dalam kotak dengan berbagai jebakan. Pisau, sarung tinju, bahkan dinamit menyala. Jason mendelik, sempat menghindar meski rambutnya terbakar api ledakan tadi.
"Tidak! Jangan rambut indahku!" erangnya. "Kau tidak bisa melakukan itu! Mereka semua ciptaanku!"
"Nampaknya bukan lagi," jawab Sang Pengendali. Lalu tertawa dengan suara parau.
Jason melemparkan topi tingginya seperti bumerang. Membiarkan ujungnya meruncing setajam pedang, lantas memutus benang-benang emas Sang Pengendali dari mainan ciptaannya. Ketika topi itu berputar kembali, ujung runcingnya memotong kedua tangan Sang Pengendali, mengubahnya menjadi abu ketika menghantam lantai.
"Hei, tangan adalah bagian tubuh kesukaanku!" Giliran dia yang mengerang. "Tapi tidak masalah, aku punya banyak cadangan." Seperti lubang-lubang di tubuhnya yang menutup, kedua tangannya memproduksi kembali daging abu-abu (jika itu bisa disebut daging), tidak lupa benang emas di setiap jarinya. Seolah kedua tangan itu tidak pernah terluka.
"Curang ...," desis Jason. "Bertarunglah secara jujur!"
"Ini caraku jujur. Mau tahu seperti apa kalau aku berbuat curang?"
Sang pengendali merentangkan lagi benang-benang emasnya. Kali ini Jason menjadi yang menjadi target. Pria itu segera menghindar. Ujung tangan berbentuk boneka kaus kaki memutus benang setiap kali nyaris membelit mereka. Namun, itu hanya membuat benang-benang merentang semakin panjang. Sambil terus mengelak ke seluruh ruangan, Jason melempar gigi-gigi palsu yang menancap di seluruh tubuh Sang Pengendali. Namun, tampaknya itu tidak berpengaruh apa-apa, sang pengendali tetap berdiri di sana, seolah kedua kakinya dipasak ke lantai.
"The Toy Maker?" kata Sang Pengendali kedengaran ragu. "Bukankah dia terlalu ... konyol?"
Tuan Besar menoleh. "Apa yang akan dikendalikan oleh Sang pengendali, jika tidak ada sesuatu yang dibuat, benar? Aku yakin kalian akan menjadi perpaduan yang sempurna."
"Masa ...," sinis pria itu.
"Lihat saja ... Jason!"
Sang Pembuat Mainan perlahan berbalik, menunjukan wajah yang dipenuhi ukiran hitam jenaka, mata hijau terang, rambut yang merah kusam, serta gigi-gigi setajam gergaji. Dia mengenakan kemeja putih dan rompi cokelat. Usang, tapi sangat rapi.
"Hei." Suaranya tinggi, terkesan dibuat-buat. "Aku suka matamu," lanjutnya begitu melihat mata Sang Pengendali juga menyala, berwarna kuning terang.
"Keluar dari sana dan temui ketua barumu," kata Tuan Besar.
Dengan malas, pria itu melangkah maju, menunjukkan postur tinggi-kurus yang atletis. Ia meneliti Sang Pengendali sejenak, lalu berkacak pinggang. "Dia ketua? Lebih cocok menjadi pemimpin para gelandangan."
"Jaga bicaramu!" desis Sang Pengendali.
"Kalau aku tidak mau, bagaimana?"
"Akan kubuat kau memotong lidahmu sendiri!"
"Cukup!" bentak Tuan Besar. "Suka atau tidak, mulai sekarang kalian akan bekerja sebagai tim, sebaiknya kalian mulai membiasakan diri satu sama lain!"
Seperti seorang ayah tengah memarahi kedua anaknya yang bertengkar, Sang Pengendali dan Jason hanya tertunduk mendengarkan.
"Sekarang pergilah jemput anggota kalian." Tuan Besar melanjutkan. "Latih mereka agar layak menjadi bagian dari kita. Aku percayakan semua pada kalian." Tubuh Tuan Besar memudar, seperti gelombang statik, lantas benar-benar menghilang entah ke mana.
"Dasar diktator," gerutu Jason. Makhluk itu mendekati Sang Pengendali, meneliti kulit abu-abunya, mata kuning bersinar yang tak berbola, mulut kosong yang juga bersinar, dan jari-jari yang dipenuhi untaian benang emas.
"Kenapa yang sepertimu bisa menjadi pemimpin?" Dia bertanya dengan maksud mengejek.
"Aku adalah Pengendali. Aku bisa mengendalikan apa saja, termasuk dirimu. Kau akan lemas seperti boneka, mematuhi setiap perintah yang ada di kepalaku," jelas Sang Pengendali dengan sabar, tanpa sedikitpun nada kesal.
"Ya, ya, ya. Memang apa lagi yang bisa dilakukan The Puppeteer selain mengendalikan boneka bodoh?" Jason mengolok-olok nama itu. "Tapi jangan sombong dulu. Menurutku 'Membuat' lebih tinggi kedudukannya daripada 'Mengendalikan'. Aku yang membuat benda maupun makhluk-makhluk menakjubkan dengan susah payah, sementara kau hanya mengendalikan mereka."
"Menurutmu mengendalikan ciptaan-ciptaan bodohmu tidak mengeluarkan tenaga?" jawab Sang Pengendali.
Jason buru-buru mengangkat sebelah telapak tangan. "Pokoknya, aku terhina dijadikan wakil."
"Jadi apa yang harus kita lakukan?"
"Bertarung, tentu saja! Yang menang boleh menjadi ketua."
"Oke ... Kenapa tidak? Apa yang bisa kau perbuat?"
Jason tersenyum penuh arti, menyodorkan sebuah boneka abu-abu yang entah apa jenisnya. Terlihat lucu, kalau saja tidak banyak jahitan hitam di sekujur tubuhnya, kalau saja bola matanya tidak seputih mayat. Saat Sang Pengendali menerimanya, bulu boneka itu sekasar perdu alih-alih lembut.
"Kau sangat murah hati ... tapi kukira kita akan bertarung?"
Jason tidak menjawab, dia melompat ke langit-langit sambil terkikik. Kedua tangannya menutup telinga rapat-rapat. Kedua matanya terus mengawasi Sang Pengendali meneliti boneka itu, seolah menunggu sesuatu terjadi. Samar-samar keluar detak dari dalam boneka. Namun, siapa pun yang memiliki otak dan telinga tahu bahwa itu bukan detak jantung, melainkan jam. Hanya sebentar, tanpa peringatan boneka itu meledak bagai dinamit, melontarkan kawat dan paku-paku ke seluruh penjuru ruangan.
Paku-paku itu bahkan menancap pada tubuh Jason sendiri. Namun, ia tetap tertawa terbahak-bahak, karena kondisi Sang Pengendali di bawah sana jauh lebih parah. Seluruh tubuhnya tertutup paku dan kawat. Tidak terlihat lagi mana hidung, mana mata, mana mulut. Semuanya berwarna abu-abu berkarat, seperti seekor landak.
"Sudah puas tertawa?" ujar Sang Pengendali. Sekonyong-konyong paku-paku dan kawat di tubuhnya terserap, seperti sebuah spons yang sedang membersihkan diri. Ratusan lubang kecil terlihat mengeluarkan cahaya kuning, lantas lubang-lubang itu menutup, dan kulitnya kembali seperti semula. Tawa Jason serta-merta menghilang. "Trik konyol. Tapi aku memang tidak berharap banyak dari seorang pembuat mainan." Sang Pengendali melanjutkan. "Kau sepertinya tidak menangkap perbedaan di antara kita."
Jason mendengarkan dengan senyum miring. Kedua tangannya memanjang sampai lantai, berlipit menyerupai akrodeon, lalu kepala boneka kaus kaki terlihat di ujungnya. "Jelas, aku lebih baik karena bisa menciptakan," katanya.
"Memang betul ...." Sang Pengendali menggerakkan kesepuluh jarinya, menangkap beberapa mainan Jason yang bentuknya mengerikan, menjerat mereka sehingga mainan-mainan itu perlahan bergerak patah-patah seperti zombie. Semuanya mengarah kepada Jason.
"Kau menciptakan mereka ... tapi aku bisa membuat mereka hidup."
Beberapa boneka yang bagian tubuhnya terbedah sana-sini berlari ke arah Jason, tuannya sendiri. Mulai berdetak dan meledak, mengeluarkan lebih banyak paku dan kawat. Untung saja pria itu gesit menghindar. Melompat sana-sini seperti kera dengan sepatu pegas di kedua kaki, menghindari makhluk ciptaannya sendiri. Beberapa mainan Jack-in-the-box mendekat, nada Pop Goes the Weasle mengalun serempak. Ketika sampai di depan Jason, nada itu pun berhenti, dan boneka badut keluar dari dalam kotak dengan berbagai jebakan. Pisau, sarung tinju, bahkan dinamit menyala. Jason mendelik, sempat menghindar meski rambutnya terbakar api ledakan tadi.
"Tidak! Jangan rambut indahku!" erangnya. "Kau tidak bisa melakukan itu! Mereka semua ciptaanku!"
"Nampaknya bukan lagi," jawab Sang Pengendali. Lalu tertawa dengan suara parau.
Jason melemparkan topi tingginya seperti bumerang. Membiarkan ujungnya meruncing setajam pedang, lantas memutus benang-benang emas Sang Pengendali dari mainan ciptaannya. Ketika topi itu berputar kembali, ujung runcingnya memotong kedua tangan Sang Pengendali, mengubahnya menjadi abu ketika menghantam lantai.
"Hei, tangan adalah bagian tubuh kesukaanku!" Giliran dia yang mengerang. "Tapi tidak masalah, aku punya banyak cadangan." Seperti lubang-lubang di tubuhnya yang menutup, kedua tangannya memproduksi kembali daging abu-abu (jika itu bisa disebut daging), tidak lupa benang emas di setiap jarinya. Seolah kedua tangan itu tidak pernah terluka.
"Curang ...," desis Jason. "Bertarunglah secara jujur!"
"Ini caraku jujur. Mau tahu seperti apa kalau aku berbuat curang?"
Sang pengendali merentangkan lagi benang-benang emasnya. Kali ini Jason menjadi yang menjadi target. Pria itu segera menghindar. Ujung tangan berbentuk boneka kaus kaki memutus benang setiap kali nyaris membelit mereka. Namun, itu hanya membuat benang-benang merentang semakin panjang. Sambil terus mengelak ke seluruh ruangan, Jason melempar gigi-gigi palsu yang menancap di seluruh tubuh Sang Pengendali. Namun, tampaknya itu tidak berpengaruh apa-apa, sang pengendali tetap berdiri di sana, seolah kedua kakinya dipasak ke lantai.
Ketika seluruh tempat sudah dihinggapi. Jason berdiri di ujung ruangan sambil bersedekap. Untaian benang nyaris membelitnya, tapi berhenti tepat di depan hidungnya. Benang-benang itu kusut, tidak karuan, seperti jaring laba-laba yang dibuat mendadak. Merasa puas dengan taktiknya, Jason kembali tertawa.
"Jadi benangmu bisa kusut juga, ya?"
"Sebenarnya tidak. Tapi aku kasihan kalau sampai taktik brilianmu gagal. Jadi sengaja kubuat kusut agar mirip kartun-kartun."
Jawaban itu membuat Jason mencebik. "Itu tidak membuatku senang sama sekali."
"Jadi benangmu bisa kusut juga, ya?"
"Sebenarnya tidak. Tapi aku kasihan kalau sampai taktik brilianmu gagal. Jadi sengaja kubuat kusut agar mirip kartun-kartun."
Jawaban itu membuat Jason mencebik. "Itu tidak membuatku senang sama sekali."
Sang Pengendali menarik tangannya beberapa kali. Tak ada yang terjadi. Pria itu mendesah kesal. "Boleh pinjam gunting? Ternyata kusut betulan."
"Tentu saja ...."
Jason menghampirinya, merogoh saku, lantas mengeluarkan gunting super besar, nyaris sebesar dirinya sendiri. Alih-alih menggunting benang emas, pria itu menggunting pinggang Sang Pengendali, membuatnya terbelah menjadi dua. Pada masing-masing tubuhnya mengeluarkan cahaya kuning terang. Jason terguling di lantai saking kerasnya tertawa.
"Kau ini Si Pembuat Mainan atau Si Pemotong Badan Orang? Tidak puas-puas memotong bagian tubuhku dari tadi!"
Nada bicara Sang Pengendali selalu santai dan rendah, termasuk saat ini. Ketika tubuhnya saling mendekat, dari kedua sisi muncul ribuan benang emas, seolah sedang menjahit diri sendiri, sampai kedua tubuhnya menyatu kembali. Melihat itu Jason terduduk dengan arus wajah kecewa.
"Begitu saja? Aku kira masing-masing tubuhmu akan berregenerasi sehingga menjadi dua orang."
"Tidak perlu, aku takut kau kewalahan mengahadapi dua pengendali sekaligus."
"Tentu saja ...."
Jason menghampirinya, merogoh saku, lantas mengeluarkan gunting super besar, nyaris sebesar dirinya sendiri. Alih-alih menggunting benang emas, pria itu menggunting pinggang Sang Pengendali, membuatnya terbelah menjadi dua. Pada masing-masing tubuhnya mengeluarkan cahaya kuning terang. Jason terguling di lantai saking kerasnya tertawa.
"Kau ini Si Pembuat Mainan atau Si Pemotong Badan Orang? Tidak puas-puas memotong bagian tubuhku dari tadi!"
Nada bicara Sang Pengendali selalu santai dan rendah, termasuk saat ini. Ketika tubuhnya saling mendekat, dari kedua sisi muncul ribuan benang emas, seolah sedang menjahit diri sendiri, sampai kedua tubuhnya menyatu kembali. Melihat itu Jason terduduk dengan arus wajah kecewa.
"Begitu saja? Aku kira masing-masing tubuhmu akan berregenerasi sehingga menjadi dua orang."
"Tidak perlu, aku takut kau kewalahan mengahadapi dua pengendali sekaligus."
Jason mencibir. "Terus saja menyombongkan diri, Pak Tua."
"Masih mau meneruskan pertarungan?"
Pria itu meregangkan leher yang pegal. "Tidak, ah. Nanti si Jangkung itu marah-marah kalau tahu kita masih bermain-main di sini," jawabnya. "Lagi pula aku memang tidak mau jadi ketua sejak awal. Merepotkan!"
Jason memanjangkan kedua tangannya sampai nyaris memenuhi satu ruangan, lalu mengumpulkan semua mainan yang tadi dikendalikan oleh Sang Pengendali dalam sekali seret saja.
"Masih mau meneruskan pertarungan?"
Pria itu meregangkan leher yang pegal. "Tidak, ah. Nanti si Jangkung itu marah-marah kalau tahu kita masih bermain-main di sini," jawabnya. "Lagi pula aku memang tidak mau jadi ketua sejak awal. Merepotkan!"
Jason memanjangkan kedua tangannya sampai nyaris memenuhi satu ruangan, lalu mengumpulkan semua mainan yang tadi dikendalikan oleh Sang Pengendali dalam sekali seret saja.
"Lihat, kau membuat ruanganku berantakan."
"Maaf. Kau yang memulainya."
Ketika Jason menyusun kembali ciptaannya dengan apik, Sang Pengendali berkeliling. Meneliti setiap mainan ciptaan rekan barunya. Semua mainan yang sudah dimodifikasi ulang, menjadi lebih mengerikan dari seharusnya. Boneka beruang berkepala naga, Mobil berkaki, kepala bayi berbadan kelabang, manusia berbadan golem.
"Kenapa kau menciptakan semua ini?" tanya pria itu.
"Aku adalah orang yang kreatif, dan suka bereksperimen," jawab Jason. "Aku juga suka melihat anak-anak senang, di sisi lain aku suka melihat orang lain menderita. Dengan membuat banyak mainan, aku bisa melakukan semuanya sekaligus."
"Kau sepertinya punya masa lalu yang menarik."
"Oh ya? Bagaimana denganmu? Kita tidak akan di sini jika masa lalu kita tidak menarik." Jason mengamati rekannya dari atas sampai bawah. "Hei, kenapa pakaianmu sangat kumuh seperti gelandangan?"
Sang Pengendali meneliti dirinya. Ia memakai sweater lengan panjang, ditambah mantel sepanjang mata kaki, celana gombrong dan boots kumuh, semuanya abu-abu. Sebuah topi kupluk menutupi rambut hitam arang yang panjang. Betul ... Sang Pengendali tidak lebih baik daripada gelandangan yang tidur di kolong jembatan.
"Berkata begitu seolah dirinya keren," sahut Sang Pengendali sambil tersenyum miring.
"Maaf. Kau yang memulainya."
Ketika Jason menyusun kembali ciptaannya dengan apik, Sang Pengendali berkeliling. Meneliti setiap mainan ciptaan rekan barunya. Semua mainan yang sudah dimodifikasi ulang, menjadi lebih mengerikan dari seharusnya. Boneka beruang berkepala naga, Mobil berkaki, kepala bayi berbadan kelabang, manusia berbadan golem.
"Kenapa kau menciptakan semua ini?" tanya pria itu.
"Aku adalah orang yang kreatif, dan suka bereksperimen," jawab Jason. "Aku juga suka melihat anak-anak senang, di sisi lain aku suka melihat orang lain menderita. Dengan membuat banyak mainan, aku bisa melakukan semuanya sekaligus."
"Kau sepertinya punya masa lalu yang menarik."
"Oh ya? Bagaimana denganmu? Kita tidak akan di sini jika masa lalu kita tidak menarik." Jason mengamati rekannya dari atas sampai bawah. "Hei, kenapa pakaianmu sangat kumuh seperti gelandangan?"
Sang Pengendali meneliti dirinya. Ia memakai sweater lengan panjang, ditambah mantel sepanjang mata kaki, celana gombrong dan boots kumuh, semuanya abu-abu. Sebuah topi kupluk menutupi rambut hitam arang yang panjang. Betul ... Sang Pengendali tidak lebih baik daripada gelandangan yang tidur di kolong jembatan.
"Berkata begitu seolah dirinya keren," sahut Sang Pengendali sambil tersenyum miring.
Mendengar itu Jason tertawa sejenak, lantas merentangkan tangan agar tubuh tinggi atletisnya terlihat jelas. "Lihat aku ... tubuh dan wajah seperti inilah yang jadi idaman setiap wanita. Kapan-kapan kutunjukkan wanita-wanita yang pernah menjadi pacarku." Pria itu menerawang. "Ya ... sebenarnya mereka semua sudah mati. Tapi aku ingat kuburan mereka. Akan kubawa kau kapan-kapan."
Jason berbalik melanjutkan kegiatannya, baru sebentar ia malah berbalik lagi. "Tunggu dulu ... mungkin itu sebabnya Si Jangkung memasangkan kita. Aku sebagai sampul yang tampan dan berkharisma, sementara kau, hebat tapi jelek yang bekerja di belakang layar!"
Sang Pengendali tersenyum. "Jadi kau sudah mengakui aku hebat?"
"Maksudku bukan hebat yang ... hebat. Tapi hebat yang ... Seperti ... Ah! Kenapa kau jadi menyebalkan begini!" Sekarang pria itu benar-benar berbalik, sedikit mendengkus kesal.
Sang Pengendali berjalan ke sisi Jason, memperhatikannya bekerja, mengisi pinata dengan berbagai kotoran. Meski jauh lebih tua, Sang Pengendali jauh lebih pendek dari Jason, atau mungkin pria itu memang terlalu tinggi untuk ukuran manusia normal. Ketika tenang, mata pria berambut merah itu tidak menyala. Lain dengan milik Sang Pengendali yang selalu menyala dalam kondisi apa pun. Itu menandakan satu hal. Sang Pengendali sudah lebih lama masuk ke dunia gelap ini. Baginya Jason hanyalah bocah ingusan, masih perlu bimbingan. Sekarang mereka bersama ditugaskan membimbing calon monster yang bahkan lebih amatir lagi. Sang Pengendali merangkul calonnya.
"Anggaplah begitu, Sobat. Dengan kemampuanku, kita bisa menghidupkan ciptaanmu yang paling dahsyat. Menunjukkan pada dunia kehebatan Sang Pengendali dan Si Pembuat Mainan ketika bersatu." Pria itu melanjutkan seiring matanya bercahaya lebih terang. "Kita bimbing anak-anak ini. Jadikan mereka pasukan yang paling kuat. Mengalahkan Duo Jack dan Jeff, bahkan Suster Ann bodoh itu."
"Aku lebih tertarik karena mempunyai empat orang yang bisa disuruh-suruh!" jawab Jason. "Omong-omong, siapa saja anggota kita?"
"Kebetulan kau bertanya. Kita harus berpindah ke dimensi lain untuk menjemput anak-anak ini."
"Aku suka jalan-jalan!"
"Pertama, kita kunjungi Lavender Town tempat Si Perak dan Si Merah tinggal. Kudengar mereka anak-anak manis."
Jason terkikik lagi. "Aku suka anak-anak manis."
"Setelah itu kita kunjungi Sirkus Laughing Jack untuk menjemput Si Pecandu Permen." Sang Pengendali melanjutkan. "Aku dengar kau dan LJ berteman?"
"Teman sekaligus musuh. Aku tahu badut jelek itu sebenarnya membenciku, karena aku juga membencinya," balas Jason.
"Ya ... sepertinya itu bukan urusanku." Sang Pengendali mengangkat bahu. "Dari sirkus barulah kita ke tempat terakhir, yaitu danau di kota Majora untuk menjemput Si anak yang tenggelam."
"Wow, aku tidak menyangka perjalanan kita sepanjang itu."
"Oleh sebab itu kita harus segera memulai perjalanan. Aku ingin kau bersiap, bawa hal-hal yang perlu."
"Baik-baik ... tapi sebelum itu kenapa kita tidak santai dulu?" Jason menyodorkan stoples pada Sang Pengendali. "Mau kacang?"
"Wah, kau benar-benar murah hati."
Sedikit kesusahan Sang Pengendali membuka stoples itu, dan ketika terbuka, sebuah sarung tinju berpegas menunju wajahnya, membuatnya terpental beberapa meter, sampai akhirnya membentur dinding besi. Suara gelak tawa terdengar menyusul.
Jason berbalik melanjutkan kegiatannya, baru sebentar ia malah berbalik lagi. "Tunggu dulu ... mungkin itu sebabnya Si Jangkung memasangkan kita. Aku sebagai sampul yang tampan dan berkharisma, sementara kau, hebat tapi jelek yang bekerja di belakang layar!"
Sang Pengendali tersenyum. "Jadi kau sudah mengakui aku hebat?"
"Maksudku bukan hebat yang ... hebat. Tapi hebat yang ... Seperti ... Ah! Kenapa kau jadi menyebalkan begini!" Sekarang pria itu benar-benar berbalik, sedikit mendengkus kesal.
Sang Pengendali berjalan ke sisi Jason, memperhatikannya bekerja, mengisi pinata dengan berbagai kotoran. Meski jauh lebih tua, Sang Pengendali jauh lebih pendek dari Jason, atau mungkin pria itu memang terlalu tinggi untuk ukuran manusia normal. Ketika tenang, mata pria berambut merah itu tidak menyala. Lain dengan milik Sang Pengendali yang selalu menyala dalam kondisi apa pun. Itu menandakan satu hal. Sang Pengendali sudah lebih lama masuk ke dunia gelap ini. Baginya Jason hanyalah bocah ingusan, masih perlu bimbingan. Sekarang mereka bersama ditugaskan membimbing calon monster yang bahkan lebih amatir lagi. Sang Pengendali merangkul calonnya.
"Anggaplah begitu, Sobat. Dengan kemampuanku, kita bisa menghidupkan ciptaanmu yang paling dahsyat. Menunjukkan pada dunia kehebatan Sang Pengendali dan Si Pembuat Mainan ketika bersatu." Pria itu melanjutkan seiring matanya bercahaya lebih terang. "Kita bimbing anak-anak ini. Jadikan mereka pasukan yang paling kuat. Mengalahkan Duo Jack dan Jeff, bahkan Suster Ann bodoh itu."
"Aku lebih tertarik karena mempunyai empat orang yang bisa disuruh-suruh!" jawab Jason. "Omong-omong, siapa saja anggota kita?"
"Kebetulan kau bertanya. Kita harus berpindah ke dimensi lain untuk menjemput anak-anak ini."
"Aku suka jalan-jalan!"
"Pertama, kita kunjungi Lavender Town tempat Si Perak dan Si Merah tinggal. Kudengar mereka anak-anak manis."
Jason terkikik lagi. "Aku suka anak-anak manis."
"Setelah itu kita kunjungi Sirkus Laughing Jack untuk menjemput Si Pecandu Permen." Sang Pengendali melanjutkan. "Aku dengar kau dan LJ berteman?"
"Teman sekaligus musuh. Aku tahu badut jelek itu sebenarnya membenciku, karena aku juga membencinya," balas Jason.
"Ya ... sepertinya itu bukan urusanku." Sang Pengendali mengangkat bahu. "Dari sirkus barulah kita ke tempat terakhir, yaitu danau di kota Majora untuk menjemput Si anak yang tenggelam."
"Wow, aku tidak menyangka perjalanan kita sepanjang itu."
"Oleh sebab itu kita harus segera memulai perjalanan. Aku ingin kau bersiap, bawa hal-hal yang perlu."
"Baik-baik ... tapi sebelum itu kenapa kita tidak santai dulu?" Jason menyodorkan stoples pada Sang Pengendali. "Mau kacang?"
"Wah, kau benar-benar murah hati."
Sedikit kesusahan Sang Pengendali membuka stoples itu, dan ketika terbuka, sebuah sarung tinju berpegas menunju wajahnya, membuatnya terpental beberapa meter, sampai akhirnya membentur dinding besi. Suara gelak tawa terdengar menyusul.
Comments
Post a Comment