Pan has Grown Up
The little boy who had his wish come true is growing up a little bit by bit
Meskipun begitu, ayah dan ibunya benar-benar menyayangi anak mereka. Bocah itu ibarat wadah mimpi-mimpi indah bagi kedua orangtuanya, anak emas yang selama ini mereka dambakan, penerus generasi yang pasti membanggakan.
Pada suatu malam, satu jam terlewat dari waktu tidur, terdengar suara langkah kecil mengendap-endap. Si bocah nakal turun dari ranjangnya demi menempelkan telinga ke dinding kayu untuk menguping kedua orangtuanya berbincang. Keduanya tengah membicarakan akan menjadi apa anak semata wayang mereka ketika dewasa kelak.
“Dia akan menjadi seorang Presiden.” Sang ayah berkata dengan optimis.
“Tidak, dia akan menjadi seorang Akuntan,” balas sang ibu tak kalah semangat.
Masing-masing menginginkan sang putra menjadi penerus mereka. Sedangkan anak laki-laki itu sendiri mendengarkan dengan wajah merengut sebal.
Tentu saja, setiap pahlawan pasti mempunyai musuh. Pria tinggi besar, berhidung bengkok yang berhias kumis tipis lancip seperti mata pedang, manik matanya hitam, sama seperti rambutnya yang panjang bergelombang, sama seperti hatinya yang kotor. Seorang kapten yang diagung-agungkan awak kapal Jolly Roger. Hook.
“Aku bersumpah demi makam anak buah kapal kesayanganku! Aku akan membuatmu mati perlahan dan menyakitkan, Pan!” Teriak sang kapten sambil mengacung-acungkan tangan kanannya yang terbuat dari kait.
“Tapi aku masih hidup, Kapt'n,” gerutu Smee, anak buah kapal kesayangan Hook.
“Bodoh, itu tadi namanya menggertak!” geram Kapten Hook.
“Jangan cuma bicara!” Peter balas berteriak. “Buktikanlah. Ayo maju, aku tidak akan kemana-mana.”
Sudah lama mereka bersitegang, ribuan pedang dihunuskan, ratusan bekas luka yang sembuh meninggalkan bekas. Kali ini, rasanya Peter malas bertarung dengan Hook. Ia punya rencana licik untuk si kapten.
“Dia akan menjadi seorang Presiden.” Sang ayah berkata dengan optimis.
“Tidak, dia akan menjadi seorang Akuntan,” balas sang ibu tak kalah semangat.
Masing-masing menginginkan sang putra menjadi penerus mereka. Sedangkan anak laki-laki itu sendiri mendengarkan dengan wajah merengut sebal.
Menjadi Presiden? Itu artinya ia akan seperti sang ayah. Sibuk sepanjang hari, selalu memakai jas berkerah keras yang gatal, makan dengan dagu terangkat. Bahkan bicaranya lebih lamban daripada siput.
Menjadi Akuntan? Itu berarti ia akan seperti sang ibu. Menggunakan kaca mata bulat super tebal, rambut memutih yang perlahan-lahan berguguran akibat terlalu banyak berpikir. Tak jarang wanita itu menghitung uang dalam tidurnya.
Anak itu tidak ingin menjadi Presiden, juga tidak mau menjadi Akuntan, malahan, ia tidak mau menjadi dewasa sama sekali. Baginya menjadi dewasa itu tidak enak. Tukang mengatur, keriput, jelek, dan membosankan.
Anak itu tidak ingin menjadi Presiden, juga tidak mau menjadi Akuntan, malahan, ia tidak mau menjadi dewasa sama sekali. Baginya menjadi dewasa itu tidak enak. Tukang mengatur, keriput, jelek, dan membosankan.
Meski kekanakkan, bocah itu kadang-kadang berpikir serius juga, seperti malam ini. Bocah itu menopang dagu sambil menatap bintang-bintang di langit, masih terngiang perbincangan kedua orang tuanya barusan. Kedewasaan ibarat sebuah mimpi buruk yang pasti menjadi nyata.
Usianya tepat dua belas tahun sekarang, sudah harus tidur sendiri tanpa lentera. Padahal ia yakin ada monster pemakan jempol di kolong tempat tidur. Tidak ada yang percaya. Di usia lima belas nanti, orang tuanya akan mengirim bocah itu ke asrama yang jauh dari rumah. Melakukan segalanya sendirian, mengurus diri sendiri, tidak dimanjakan lagi.
“Aku tidak mau ...,” gumam anak itu sambil menopang dagu. “Aku tidak mau menjadi dewasa.”
Tiba-tiba terdengar suara denting lonceng samar, diikuti oleh setitik cahaya yang melayang mengitari kepala anak itu. Seperti seekor lalat, tapi jika diperhatikan lebih jelas, itu sama sekali bukan lalat. Makhluk itu mempunyai dua kaki dan tangan, rambutnya pirang disanggul tinggi, dia memakai gaun hijau dan sepatu berbulu. Serbuk keemasan keluar setiap kali sayap kecilnya mengepak.
“Tidak mau menjadi dewasa?” Peri kecil itu bisa bicara. “Tidak ingin jadi jelek, keriput, dan membosankan?”
Anak itu mengangguk, mengiyakan. Kelopak matanya terbuka begitu lebar akibat pemandangan di hadapannya saat ini.
“Kau menginginkan petualangan abadi? Ingin bermain seolah matahari tidak pernah tenggelam? Kau ingin menjadi anak-anak selamanya?”
Bocah itu mengangguk lebih kuat, dengan senyum samar di sudut bibirnya.
Si peri mengulurkan tangan kecilnya. “Ikutlah denganku ... kita pergi ke tempat mimpi-mimpi terlahir, tempat di mana waktu tidak pernah terencana.”
“Aku tidak akan menjadi dewasa di sana?”
“Pikirkan hal-hal yang menyenangkan, jika kau selalu bahagia, kau tidak akan bertambah dewasa selamanya.”
Tanpa ragu, bocah itu memanjat ke atas mejanya, lalu berjalan ke bingkai jendela.
“Tunjukkan padaku cara ke sana!”
Peri kecil itu mengitari tubuh si bocah lelaki dari kepala sampai kaki sambil mengeluarkan serbuk keemasan yang bersinar. Sekonyong-konyong tubuh anak itu terangkat ke udara, tubuhnya limbung, tapi ia segera terbiasa.
“Kita akan terbang menuju bintang kedua dari kanan, lalu berjalan lurus sampai fajar.”
Tanpa ragu, si anak laki-laki mengayuh kaki agar melayang maju, mengikuti peri kecil. Sampai sekelebat perasaan melintasi hati kecilnya. Anak itu berbalik menatap jendela kamar.
Bagaimana dengan Ayah dan Ibu? pikirnya.
“Di Naverland ada Putri Duyung ....” Si Peri berbisik di telinganya.
“Benarkah?”
“Ada suku Indian, pohon peri raksasa, dan bajak laut.”
Begitu saja, sekelebat perasaan ragu terdepak jauh. Anak laki-laki itu diam saja ketika Si Peri menariknya semakin tinggi, menuju bintang kedua di langit malam.
Di rumah barunya, Neverland, bocah itu seolah menemukan jati diri yang asli. Di sana ia bermain dan terus bermain. Di tempat ajaib itu ia selalu bahagia. Tahun demi tahun berlalu, tapi anak itu tetap berada dalam dirinya yang berusia dua belas, begitu juga tingkah lakunya, jalan pikirnya. Seolah tidak ada yang berubah.
“Aku tidak mau ...,” gumam anak itu sambil menopang dagu. “Aku tidak mau menjadi dewasa.”
Tiba-tiba terdengar suara denting lonceng samar, diikuti oleh setitik cahaya yang melayang mengitari kepala anak itu. Seperti seekor lalat, tapi jika diperhatikan lebih jelas, itu sama sekali bukan lalat. Makhluk itu mempunyai dua kaki dan tangan, rambutnya pirang disanggul tinggi, dia memakai gaun hijau dan sepatu berbulu. Serbuk keemasan keluar setiap kali sayap kecilnya mengepak.
“Tidak mau menjadi dewasa?” Peri kecil itu bisa bicara. “Tidak ingin jadi jelek, keriput, dan membosankan?”
Anak itu mengangguk, mengiyakan. Kelopak matanya terbuka begitu lebar akibat pemandangan di hadapannya saat ini.
“Kau menginginkan petualangan abadi? Ingin bermain seolah matahari tidak pernah tenggelam? Kau ingin menjadi anak-anak selamanya?”
Bocah itu mengangguk lebih kuat, dengan senyum samar di sudut bibirnya.
Si peri mengulurkan tangan kecilnya. “Ikutlah denganku ... kita pergi ke tempat mimpi-mimpi terlahir, tempat di mana waktu tidak pernah terencana.”
“Aku tidak akan menjadi dewasa di sana?”
“Pikirkan hal-hal yang menyenangkan, jika kau selalu bahagia, kau tidak akan bertambah dewasa selamanya.”
Tanpa ragu, bocah itu memanjat ke atas mejanya, lalu berjalan ke bingkai jendela.
“Tunjukkan padaku cara ke sana!”
Peri kecil itu mengitari tubuh si bocah lelaki dari kepala sampai kaki sambil mengeluarkan serbuk keemasan yang bersinar. Sekonyong-konyong tubuh anak itu terangkat ke udara, tubuhnya limbung, tapi ia segera terbiasa.
“Kita akan terbang menuju bintang kedua dari kanan, lalu berjalan lurus sampai fajar.”
Tanpa ragu, si anak laki-laki mengayuh kaki agar melayang maju, mengikuti peri kecil. Sampai sekelebat perasaan melintasi hati kecilnya. Anak itu berbalik menatap jendela kamar.
Bagaimana dengan Ayah dan Ibu? pikirnya.
“Di Naverland ada Putri Duyung ....” Si Peri berbisik di telinganya.
“Benarkah?”
“Ada suku Indian, pohon peri raksasa, dan bajak laut.”
Begitu saja, sekelebat perasaan ragu terdepak jauh. Anak laki-laki itu diam saja ketika Si Peri menariknya semakin tinggi, menuju bintang kedua di langit malam.
***
Anak itu mulai melupakan kedua orang tuanya. Sibuk bermain dengan Putri Duyung cantik, sibuk bertualang dengan suku Indian, sibuk mengajari The Lost Boy—Anak-anak laki-laki yang tersesat—agar menjadi pasukan yang hebat. Anak ini akhirnya dikenal dengan nama Peter. Pan jika kalian menanyakan nama belakangnya. Dia bukan lagi anak-anak biasa, tapi pemimpin anak-anak.
“Kenapa tidak ada anak perempuan di pasukanku?” Peter bertanya pada Tink, ketika menyadari The Lost Boys semuanya laki-laki.
Tink terkikik yang lebih terdengar seperti suara bel berdenting. ”Anak-anak perempuan terlalu cerdas untuk tersesat, Peter. Lagi pula, anak-anak perempuan senang menjadi dewasa."
“Kenapa tidak ada anak perempuan di pasukanku?” Peter bertanya pada Tink, ketika menyadari The Lost Boys semuanya laki-laki.
Tink terkikik yang lebih terdengar seperti suara bel berdenting. ”Anak-anak perempuan terlalu cerdas untuk tersesat, Peter. Lagi pula, anak-anak perempuan senang menjadi dewasa."
"Benar ... kita tidak membutuhkan anak-anak perempuan!" seru Peter. "Mereka bisa dewasa sendiri, dan rasakan akibatnya!"
The Lost Boys ikut bersorak mendukung sang pemimpin, mereka terdiri dari anak-anak lelaki yang juga tidak ingin menjadi dewasa seperti Peter. Jadi, siapa pun yang berpikir akan menjadi dewasa ... sebaiknya jangan sampai berpikir seperti itu, sebab Peter tidak akan senang mendengarnya.
Tentu saja, setiap pahlawan pasti mempunyai musuh. Pria tinggi besar, berhidung bengkok yang berhias kumis tipis lancip seperti mata pedang, manik matanya hitam, sama seperti rambutnya yang panjang bergelombang, sama seperti hatinya yang kotor. Seorang kapten yang diagung-agungkan awak kapal Jolly Roger. Hook.
“Aku bersumpah demi makam anak buah kapal kesayanganku! Aku akan membuatmu mati perlahan dan menyakitkan, Pan!” Teriak sang kapten sambil mengacung-acungkan tangan kanannya yang terbuat dari kait.
“Tapi aku masih hidup, Kapt'n,” gerutu Smee, anak buah kapal kesayangan Hook.
“Bodoh, itu tadi namanya menggertak!” geram Kapten Hook.
“Jangan cuma bicara!” Peter balas berteriak. “Buktikanlah. Ayo maju, aku tidak akan kemana-mana.”
Sudah lama mereka bersitegang, ribuan pedang dihunuskan, ratusan bekas luka yang sembuh meninggalkan bekas. Kali ini, rasanya Peter malas bertarung dengan Hook. Ia punya rencana licik untuk si kapten.
Bocah itu bersedekap di udara, selagi Kapten Hook menggemeretukan gigi. Sebilah pedang ia hunuskan, pedang itu melengkung seperti bulan sabit, khas bajak laut. Ketika pria itu berteriak dan menerjang, tentu saja Peter terbang lebih tinggi untuk menghindar, menyebabkan sang kapten jatuh tersungkur ke dalam laut.
Peter tertawa terbahak-bahak melihat rencananya berjalan sukses. Gelembung-gelembung kecil muncul dari air, tak lama Kapten Hook keluar dengan basah kuyup.
“Terkutuk kau, Pan!!!” jeritnya. “Tunggu sampai aku ke atas sana!”
Para anak buah kapal menurunkan tangga tali agar kapten mereka bisa memanjat naik. Namun, sebuah suara membekukan gerakan sang kapten, suara yang menjadi mimpi buruk Kapten Hook semenjak ia kehilangan tangan kanannya.
Tik-tok-tik-tok.
Suara detik jam semakin dekat, mengiringi wajah Hook yang perlahan memutih. Sekonyong-konyong buaya raksasa muncul dari air, matanya kuning tajam menyala, giginya runcing, tubuhnya seolah terbuat dari susunan duri berwarna hijau.
Peter tertawa terbahak-bahak melihat rencananya berjalan sukses. Gelembung-gelembung kecil muncul dari air, tak lama Kapten Hook keluar dengan basah kuyup.
“Terkutuk kau, Pan!!!” jeritnya. “Tunggu sampai aku ke atas sana!”
Para anak buah kapal menurunkan tangga tali agar kapten mereka bisa memanjat naik. Namun, sebuah suara membekukan gerakan sang kapten, suara yang menjadi mimpi buruk Kapten Hook semenjak ia kehilangan tangan kanannya.
Tik-tok-tik-tok.
Suara detik jam semakin dekat, mengiringi wajah Hook yang perlahan memutih. Sekonyong-konyong buaya raksasa muncul dari air, matanya kuning tajam menyala, giginya runcing, tubuhnya seolah terbuat dari susunan duri berwarna hijau.
Tidak ada yang lebih ditakuti Kapten Hook daripada buaya raksasa itu. Tiba-tiba seluruh tubuhnya kaku, pria itu hanya diam ketika si buaya membuka mulut seperti sebuah gua. Dengan sekali hap! Kapten Hook masuk ke dalam perutnya.
Kematian Kapten Jolly Roger yang tidak terduga menyisakan suasana hening, sementara si buaya bersendawa kencang mengeluarkan sebuah topi ungu terang—topi sang kapten. Makhluk itu kelihatan puas sudah mengenyangkan diri dengan musuh besarnya. Lantas berenang pergi diiringi suara tik-tok-tik-tok yang semakin samar.
Semua orang bersorak gembira, bahkan anak buah kapal Jolly Roger saling berpelukan penuh rasa syukur. Mereka sudah menjadi tawanan Kapten Hook sejak lama, sekarang mereka bisa bebas. Musuh terbesar Neverland sudah mati. Namun, kenapa wajah pahlawan kita justru khawatir?
Semua orang bersorak gembira, bahkan anak buah kapal Jolly Roger saling berpelukan penuh rasa syukur. Mereka sudah menjadi tawanan Kapten Hook sejak lama, sekarang mereka bisa bebas. Musuh terbesar Neverland sudah mati. Namun, kenapa wajah pahlawan kita justru khawatir?
Sungguh, Peter tidak pernah menyangka sebuah trik konyol bisa membunuh sang kapten. Mana ia tahu buaya itu akan muncul tiba-tiba dan melahap Kapten Hook? Ketika anak buah kapal Jolly Roger dan The Lost Boys menyorakinya, Peter tetap tersenyum, dan membungkuk memberi hormat. Tanpa ada yang tahu hatinya terluka.
Kematian Hook dirayakan dengan meriah. Suku indian membuat jamuan, Putri-putri Duyung bersenandung indah. Semua orang bergembira, tapi Tink menyadari ekspresi muram di wajah Peter. Bahkan hadiah kecupan dari Putri Tiger Lilly tidak bisa membuatnya tersenyum.
Ekspresi itu bahkan bertahan sampai berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan setelahnya. Padahal Neverland sekarang begitu damai, tidak ada ancaman bajak laut, maupun teror Kapten Hook. Tanpa diduga siapa pun, Peter Pan justru merasa kesepian. Sadar tidak sadar Kapten Hook berperan besar dalam kebahagiaan serta petualangan hebatnya.
Ekspresi itu bahkan bertahan sampai berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan setelahnya. Padahal Neverland sekarang begitu damai, tidak ada ancaman bajak laut, maupun teror Kapten Hook. Tanpa diduga siapa pun, Peter Pan justru merasa kesepian. Sadar tidak sadar Kapten Hook berperan besar dalam kebahagiaan serta petualangan hebatnya.
Sekarang tanpa sang kapten dunia Peter terasa kosong. Neverland menjadi begitu damai, Peter Pan kehilangan kegembiraannya. Kalau sudah tidak ada orang jahat, apa pekerjaannya sebagai pahlawan sekarang? Bocah nakal yang sudah menuntaskan segala mimpinya perlahan mulai tumbuh dewasa.
Ia tidak lagi memikirkan hal-hal menyenangkan, tidak lagi depenuhi hasrat petualangan, tidak lagi emnginginkan permainan yang berulang lagi dan lagi. Ia sendiri tidak sadar ketika semua pakaiannya sudah kesempitan. Malahan, baju Kapten Hook yang sangat cocok untuknya.
Kemeja, rompi, topi bajak laut, cerutu, bahkan kait sang kapten menempel sempurna pada tubuhnya yang mulai menunjukkan otot-otot kedewasaan. Jolly Roger ikut mati ketika sang kapten mati, saat Peter bercermin di sana dengan pakaian Hook pada tubuhnya, 'Bocah' yang kini menjadi 'Pria' itu bisa merasakan kapal megah Jolly Roger bernapas kembali.
Kemeja, rompi, topi bajak laut, cerutu, bahkan kait sang kapten menempel sempurna pada tubuhnya yang mulai menunjukkan otot-otot kedewasaan. Jolly Roger ikut mati ketika sang kapten mati, saat Peter bercermin di sana dengan pakaian Hook pada tubuhnya, 'Bocah' yang kini menjadi 'Pria' itu bisa merasakan kapal megah Jolly Roger bernapas kembali.
Sebuah senyum tersulam di wajahnya, takdirnya telah berubah. Jolly Roger berganti nama menjadi Jolly de Hook, The Lost Boy sekarang menjadi anak buah kapal, dan klan bajak laut kini mempunyai kapten baru bernama Peter Pan.
Tinkerbell melihat semua pemandangan itu sedikit demi sedikit, dan menjadi sangat sedih. Hati kecilnya tidak bisa dibebankan oleh terlalu banyak perasaan, makanya ia buang semua itu segera, dan mempersiapkan diri jika saat ini tiba.
Sebanyak apa pun pahlawan yang ia bawa, pada akhirnya berubah menjadi penjahat. Sebanyak apa pun mimpi yang terkabul, mimpi baru pasti akan muncul. Sejatinya anak-anak hanyalah anak-anak. Impian mereka bisa berubah kapan saja. Tujuan hidup mereka bisa berbelok tak menentu.
Sebanyak apa pun pahlawan yang ia bawa, pada akhirnya berubah menjadi penjahat. Sebanyak apa pun mimpi yang terkabul, mimpi baru pasti akan muncul. Sejatinya anak-anak hanyalah anak-anak. Impian mereka bisa berubah kapan saja. Tujuan hidup mereka bisa berbelok tak menentu.
Itu yang terjadi pada Roger dulu, lalu pada Hook, dan sekarang Peter, serta anak-anak lain sebelum mereka. Tink pergi ke pohon Pixie, mengambil sekantong besar bubuk peri. Ia harus kembali memulai perjalanan panjang mencari anak yang tidak ingin tumbuh dewasa. Seperti roda yang terus berputar. Tinkerbell sudah siap untuk itu.
Peri kecil itu harus mencari pahlawan baru untuk yang kesekian kalinya.
***
Catatan :
Cerpen ini terinspirasi dari lagu Vocaloid berjudul The Potrait of Pirates F. That song slaps! Sayangnya, Kwikku tidak menerima cerpen yang menjurus ke Fanfic, jadilah aku posting ke sini. Enjoy the story ^o^/
Comments
Post a Comment